Sabtu, 18 April 2009

Mitigasi Bencana Masuk Kurikulum SD

Jumat, 16 Januari 2009 | 19:12 WIB

BANTUL, JUMAT — Untuk memperkenalkan bahaya bencana alam, mulai tahun ini Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul akan memasukkan materi mitigasi bencana ke dalam muatan lokal kuirkulum SD. Lewat materi tersebut diharapkan siswa bisa memahami bahaya bencana dan bisa menyelamatkan diri saat bencana terjadi.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, Sahari, Bantul termasuk wilayah yang rawan bencana gempa, banjir, dan tanah longsor. "Banyaknya korban saat gempa tahun 2006, membuat kami berpikir untuk memperkenalkan mitigasi bencana kepada anak-anak sejak dini. Tujuannya agar setiap bencana datang, jumlah korban bisa ditekan," katanya.

Selama tahun 2008, dinas pendidikan sudah mulai memperkenalkan materi mitigasi bencana tersebut kepada siswa kelas I, II, dan III SD. "Tahun ini sejumlah modul telah dipersiapkan sehingga pengayakan materinya lebih banyak. Tahun lalu sifatnya masih umum, tetapi sekarang sudah kami break down ke dalam modul-modul," katanya.

Selain pemberian materi, yang tak kalah penting adalah praktik langsung mitigasi bencana. Oleh karenanya setiap sekolah sudah diimbau untuk merancang praktik-praktik mitigasi bencana. "Yang paling penting adalah praktik mitigasi gempa, karena hampir semua wilayah Bantul masuk dalam daerah rawan gempa," katanya.

Sahari menambahkan, mitigasi bencana juga diberikan kepada siswa SMP dan SMA, tetapi sifatnya lebih banyak pelatihan atau praktik langsung. "Berbeda dengan SD yang langsung masuk ke kurikulum, di SMP dan SMA sifatnya hanya materi tambahan saja," katanya.

Eny Prihtiyani

sumber:kompas.com

Dirancang, Kurikulum Standar Ponpes Muhammadiyah Jateng

Minggu, 8 Februari 2009 | 18:00 WIB

MAGELANG,MINGGU - Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah saat ini sedang berupaya merancang desain kurikulum baru bagi 63 pondok pesantren (ponpes) Muhammadiyah di seluruh Jawa Tengah. Terobosan berupa pembaharuan kurikulum ini akan dilakukan dengan menambah muatan lokal yang memadukan antara ilmu pengetahuan murni dengan ajaran-ajaran Al Quran.

"Karena ilmu pengetahuan berasal dari satu sumber yaitu Tuhan Yang Maha Esa, maka kami pun berupaya agar materi ilmu pengetahuan murni dan agama dapat digabungkan sebagai satu kesatuan dan dipahami secara terpadu oleh para santri," ujar Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Marpuji Ali, saat ditemui dalam acara pencanangan Muhammadiyah Boarding School dan peletakan batu pertama kampus terpadu Muhammadiyah Plus Sirojuddin di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Sabtu (8/2).

Rancangan kurikulum baru ini sedang dibuat oleh sebuah tim khusus, yaitu tim pengembangan pondok pesantren. Rancangan ini sudah dikerjakan oleh tim sejak akhir Desember 2008 hingga sekarang.

Penggabungan ilmu agama dan ilmu pengetahuan murni tersebut diantaranya diwujudkan dengan membuat mata pelajaran mauatan lokal berupa Fisika atau Matematika Qurani. Hal yang serupa, menurut Marpuji, juga akan dilakukan secara bertahap untuk seluruh bidang keilmuan.

Untuk membuat sebuah kurikulum yang tepat, tim pengembangan pondok pesantren nantinya juga akan mengevaluasi kurikulum rintisan yang sudah berjalan di sekolah Muhammadiyah berasrama di Sragen, Sukoharjo, dan Kudus.

"Kekurangan dari kurikulum yang sudah berjalan nantinya akan dievaluasi untuk semakin disempurnakan menjadi sebuah kurikulum baru yang patut dilaksanakan di seluruh Jawa Tengah," paparnya

Upaya menggabungkan dua bidang ini tidak lain adalah untuk merealisasikan ajaran dan gagasan dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. "Salah satu ajaran beliau menerangkan bahwa sebuah sistem pendidikan tidak boleh bersifat dikotomik, yang berarti tidak boleh ada hal-hal yang dipahami secara terpisah," ujarnya.

Tjatur Sapto Edy, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga hadir dalam acara tersebut, mengatakan, sebanyak 45 persen sekolah swasta di Indonesia merupakan sekolah Muhammadiyah. Ini mengindikasikan sekolah Muhammadiyah unggul dari segi kuantitas. "Namun, setelah ini, sudah saatnya kita berupaya terus meningkatkan mutu pendidikan dan unggul dari segi kualitas," ujarnya.





Regina Rukmorini

sumber:kompas.com

Bahasa Betawi dan Cirebon Bisa Masuk Kurikulum

Selasa, 10 Februari 2009 | 21:52 WIB

BANDUNG, SELASA - Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyatakan keinginan beberapa daerah menggunakan bahasa daerah setempat dalam kurikulum sekolah tidak melanggar aturan. Ia menyerahkan urusan teknis dan pelaksanaannya pada Dinas Pendidikan serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat.

Menurut Heryawan, Senin (9/2) malam, di Bandung, keinginan itu tidak menyimpang. Dasarnya adalah Peraturan Daerah No 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan, sastra, dan bahasa daerah. Disebutkan ada tiga kebudayaan bahasa besar yang tumbuh di Jabar, yaitu bahasa Sunda, bahasa Betawi Melayu, dan bahasa Cirebon. Dengan adanya dukungan dan aturan hukum ini, ia mengharapkan bisa semakin meningkatkan kualitas anak didik Jawa Barat.

Kepala Badan Pengembangan Bahasa Daerah Dinas Pendidikan Jawa Barat, Idin Baidillah, saat ini, sedang dilatih 2.500 guru di Jabar berdasarkan bahasa daerahnya masing-masing. Materinya antara lain penguasaan kurikulum mengajar dan penguasaan karya sastra dari masing-masing daerah.





Cornelius Helmy Herlambang

sumber:kompas.com

Budaya Papua Perlu Dimasukkan Kurikulum

Jumat, 3 April 2009 | 00:43 WIB

JAYAPURA, KOMPAS.COM--Kebudayaan di Provinsi Papua yang beraneka ragam perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah agar kebudayaan tersebut tetap lestari.

Wakil ketua II Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada ANTARA di Jayapura, Kamis, mengatakan saat ini banyak masyarakat Papua khususnya mereka yang termasuk kategori asli Papua, tidak memahami lagi tentang tata cara dan adat istiadat suku mereka.

"Kalau hal ini tidak segera dicari solusinya, dikhawatirkan budaya asli Papua akan dilupakan," katanya.

Ia menambahkan, semua orang yang tinggal di Papua harus memahami bahwa ada nilai dasar yang hidup dan sudah ada secara turun temurun di atas tanah ini, meskipun daerah dan suku-suku tersebut memiliki perbedaan etnik dan bahasa, namun tetap ada kemiripan sehingga harus dipertahankan.

"Ada simbol-simbol kultural dari orang asli Papua dan juga sejarah yang harus jadi panduan dalam kurikulum sekolah," ujarnya.

Untuk itu ia meminta perhatian Pemerintah Provinsi Papua, serta semua pihak terkait agar segera menjadikan budaya Papua sebagai salah satu muatan lokal yang wajib dipelajari di sekolah.

"Jangan hanya mempelajari budaya daerah lain, tetapi budaya sendiri tidak," kata Hana.


Sumber : Ant

Presiden Harapkan Tsunami Drill Masuk Kurikulum Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2008 | 08:13 WIB

MANADO, SABTU — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap pelaksanaan Tsunami Drill atau latihan massal evakuasi tsunami bisa masuk kurikulum sekolah. Dengan demikian, siswa bisa dididik secara dini cara mengantisipasi ancaman bencana alam itu. Hal tersebut disampaikan juru bicara Presiden, Andy Malarangeng.

"Langkah paling ideal untuk mensosialisasikan pencegahan terhadap tsunami melalui sekolah sehingga anak-anak benar-benar dibekali langkah penanggulangan secara efektif," kata Andy seusai menghadiri rapat terbatas kabinet yang turut diikuti Gubernur Sulut SH Sarundajang dan Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad, Jumat (26/12) di Manado.

Selain usulan untuk masuk kurikulum, Tsunami Drill yang dilakukan di Manado hari ini dan daerah lainnya harus dimatangkan dengan memperhatikan semua jalur-jalur evakuasi penduduk. Pemerintah daerah juga diminta untuk membuat desain tentang jalur evakuasi penduduk secara permanen, serta langkah pertolongan pertama pada kecelakaan.

Sementara itu, Wakil Walikota Manado Abdi Buchari mengatakan, pelaksanaan Tsunami Drill di daerah itu akan dilibatkan sebanyak 5.000 orang sebagai relawan, yang sebagian besar tinggal di pesisir pantai.

"Pemerintah sudah menggerakkan kehadiran masyarakat, PNS, dan semua stakeholder di Manado agar kegiatan tersebut sukses," katanya. Ia sambil berharap daerah lain turut membantu menghadirkan relawan karena target masyarakat pada simulasi itu sebanyak 15.000 orang.

WAH
Sumber : Antara

Pengenalan Tanaman Obat Harus Masuk Kurikulum

Kamis, 11 Desember 2008 | 14:05 WIB

JAKARTA, KAMIS — Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) meminta materi tentang pengenalan tanaman obat dan pengetahuan manfaat jamu dicantumkan dalam kurikulum wajib di lembaga pendidikan kesehatan.

"Kami mengharapkan melalui lembaga pendidikan yang dikelola Departemen Kesehatan, seperti Akademi Perawat, Akademi Kesehatan, dicantumkan kurikulum wajib tentang pengenalan tanaman obat sekaligus pengetahuan manfaat jamu," kata Ketua Umum GP Jamu DR Charles Saerang di Jakarta, Kamis (11/12).

Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional GP Jamu 2008 yang dihadiri sejumlah pejabat dan para pengusaha jamu dari seluruh Indonesia. Charles mengatakan, kurikulum wajib tersebut diharapkan pula diisi penjelasan tentang berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai instansi penelitian.

"Dengan begitu siswa atau mahasiswa di sekolah atau akademi tersebut dapat mengikuti perkembangan dunia usaha jamu," katanya.

Upaya itu juga perlu dilakukan untuk memperkenalkan produk-produk jamu yang berkhasiat dalam peningkatan kesehatan rakyat. "Kami menyadari perlunya sumber daya manusia yang andal khususnya di bidang kesehatan," ujarnya.

Hingga kini faktanya di lapangan belum banyak tenaga kesehatan yang mengenal khasiat tanaman obat, apalagi peran produk jamu bagi kesehatan masyarakat.

Sampai saat ini tercatat 30.000 jenis tumbuhan yang hidup di Indonesia dan hanya kurang dari 1.000 jenis yang diketahui berkhasiat sebagai obat. Dari 1.000 jenis itu hanya sekitar 300 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh industri jamu dan 50 spesies telah dibudidayakan secara komersial.

Charles menilai, fakta itu menjadi potensi tersendiri bagi Indonesia termasuk sumber daya manusia di Tanah Air untuk mengembangkan jamu sebagai salah satu produk unggulan bangsa.

AC
Sumber : Ant

451 Siswa SD-SMA/SMK di Kota Yogya Dapat Beasiswa

Rabu, 14 Januari 2009 | 19:16 WIB

YOGYAKARTA, RABU — Sebanyak 451 siswa SD-SMA/SMK di Kota Yogyakarta, Rabu (14/1), menerima beasiswa prestasi akademik Jaminan Pendidikan Daerah dengan nilai Rp 300.000-Rp 700.000 tiap anak. Mereka adalah siswa kurang mampu pemegang kartu menuju sejahtera (KMS) yang mencapai 177 anak dan sisanya nonpemegang KMS.

Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Budi Asrori mengatakan, beasiswa diberikan kepada siswa dari 45 kelurahan. Ada 16 siswa untuk setiap kecamatan yang memperoleh beasiswa, masing-masing terdiri atas 4 siswa tiap jenjang pendidikan.

Jumlah dana yang diberikan untuk program ini mencapai Rp 212 juta, dari keseluruhan Rp 360 juta yang tersedia. Adapun jumlah siswa yang menerima beasiswa mencapai 62,63 persen dari 720 siswa yang ditentukan, katanya.

Menurut Budi, tujuan utama beasiswa ini adalah mendorong siswa untuk makin meningkatkan kemampuan akademik sehingga mereka bisa kompetitif dalam memasuki sekolah yang lebih tinggi. Adapun mekanisme pemilihan calon penerima dilakukan oleh tim seleksi di masing-masing kelurahan. Setelah menjaring siswa, tim ini melakukan perangkingan baik terhadap siswa pemegang KMS maupun non-KMS, untuk selanjutnya datanya diajukan ke Dinas Pendidikan.

Kurang mampu

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mengatakan, pihaknya tidak ingin siswa mapan saja yang diakui prestasinya, tetapi juga anak-anak kurang mampu yang saat ini memegang KMS. Selama ini masih ada pandangan minor bahwa anak-anak kurang mampu dianggap tidak bisa berprestasi.

"Keterbatasan (dana) tidak harus membuat kita terbatas prestasinya. Orang menjadi besar bukan karena dia memiliki sesuatu, tetapi karena dia memiliki cita-cita awal yang kemudian diwujudkan," katanya di depan penerima beasiswa di Balaikota.

Pada kesempatan ini Herry ingin agar para orangtua benar-benar memerhatikan biaya pendidikan bagi anaknya, terutama dana untuk meneruskan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Menjadi komitmen pemerintah kota (pemkot) bahwa bahwa anak-anak Kota Yogyakarta minimal harus lulus SMA. Untuk itulah, pemkot berencana membuat program tabungan wajib pendidikan yang akan dimulai pada tahun ajaran baru mendatang.

Menurut Herry, tabungan wajib pendidikan itu akan diatur dalam peraturan wali kota. Biasanya orangtua lupa dengan biaya sekolah anak-anaknya. "Dengan tabungan wajib yang dikumpulkan melalui sekolah maka orangtua akan bisa menyisakan uang untuk kuliah anaknya," kata Herry.

Defri Werdiono

sumber:www.kompas.com

Tidak Boleh Ada Perpeloncoan Siswa Baru

Kamis, 10 Juli 2008 | 20:43 WIB

BANDUNG, KAMIS - Kegiatan belajar mengajar di tahun ajaran baru 2008/2009 dimulai serentak, Senin (14/7) mendatang. Di masa pengenalan sekolah, dilarang adanya praktik-praktik perpeloncoan. Sekolah pun diwajibkan melakukan pembinaan terhadap organisasi siswa untuk menghindarkan praktik negatif ini.

Kegiatan pengenalan yang biasanya diberi nama masa orientasi sekolah pun mulai tahun ini diganti menjadi Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Sesuai dengan namanya, kegiatan lebih diarahkan untuk mengenalkan siswa dengan lingkungan sekolah mulai dari program, budaya, hingga kurikulum pembelajarannya.

Dikenalkan pula strategi pembelajaran yang efektif di sekolah. "Perpeloncoan itu dilarang," ujar Kepala SMAN 2 Kota Bandung, Teddy Hidayat, Kamis (10/7). Kegiatan MPLS ini pun hanya berlangsung singkat, yaitu dua hari, berturut-turut Senin (14/7) dan Selasa (15/7). Ini diatur di dalam Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Nomor 421.7/530-PSMTH/2008.

Yang lebih positif, kegiatan latihan kepemimpinan siswa pun ikut dimasukkan di dalam rangkaian MPLS ini. Tepatnya, mulai 16-19 Juli ini. Menurutnya, kegiatan macam ini akan lebih bermanfaat bagi siswa. Sebab, materi pengenalan lingkungan sekolah yang disampaikan nantinya bisa menjadi bekal strategi siswa untuk berhasil dalam belajar.

Menyinggung soal potensi munculnya praktik perpeloncoan di sekolah, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMAN 5 Kota Bandung, Rahmat Effendi mengungkapkan, itu bisa dihindari lewat pembinaan dan sosialisasi memadai kepada para siswa senior di kelas XI dan XII. Ia optimis, di sekolahnya tahun ini tidak akan muncul perpeloncoan. Apalagi, sejak tahun-tahun sebelumnya, praktik negatif ini telah dilarang.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA se-Kota Bandung, Ajat Sudrajat mengungkapkan, antisipasi praktik perpeloncoan telah menjadi perhatian serius bersama para kepala sekolah. "Kepala-kepala sekolah dan para pembina kesiswaaan telah berkumpul dua hari lalu untuk membicarakan ini (MPLS). Dalam rapat ditegaskan lagi tidak boleh ada perpeloncoan," ujarnya.

Ajat menjelaskan, para pembimbing pun telah diarahkan untuk melakukan kontrol pembinaan kepada siswa selama kegiatan MPLS berlangsung. "Yang dibolehkan adalah penegakan disiplin. Bukan perpeloncoan," ucapnya kemudian. "Jika ditemui perpeloncoan oleh siswa, maka yang bersangkutan bisa dikenai sanksi pembinaan. Namun, masih dalam konteks yang edukatif," sambungnya.

Perilaku agresif

Sri Rahayu Astuti, psikolog perkembangan remaja dari Universitas Padjadjaran, mengatakan, pada prinsipnya, usia remaja seperti siswa tingkat SMA berpotensi memiliki perilaku agresif. Perilaku yang mengarah intimidasi ke orang lain ini potensial muncul di perpeloncoan.

"Perilaku agresif ini tidak hanya dalam bentuk fisik misal kekerasan, melainkan juga verbal macam kata-kata ejekan," katanya. Risiko perilaku agresif siswa lebih senior ini makin tinggi mengingat usia remaja adalah fase pengenalan diri dan emosi. Cara yang efektif mengatasi pesoalan ini adalah melalui bimbingan intensif dari orang dewasa.

JON

sumber:www.kompas.com

Beasiswa Bagi Siswa Miskin SD Diperbanyak

Senin, 15 September 2008 | 19:35 WIB

JAKARTA, SENIN - Pemberian beasiswa bagi siswa miskin di jenjang Sekolah Dasar pada 2009 diperbanyak hingga mencapai 2,2 juta siswa. Peningkatan jumlah penerima beasiswa sekitar tiga kali lipat dari tahun 2008 ini sebagai upaya untuk membuat anak-anak yang rawan putus sekolah karena alasan ekonomi tetap dapat menikmati layanan pendidikan dasar di bangku sekolah.



"Beasiswa ini untuk membantu anak-anak SD dari keluarga miskin supaya tetap bisa bersekolah. Bisa juga siswa yang putus sekolah kembali lagi ke SD," kata Mudjito, Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Senin (15/9).



Menurut Mudjito, bantuan pemerintah pusat untuk wajib belajar 9 tahun seperti bantuan operasional sekolah (BOS) sebenarnya bisa membuat siswa tidak lagi dipusingkan dengan berbagai pungutan di sekolah. Untuk itu, pemerintah daerah harus mendukung dengan tambahan bantuan operasional dari APBD sehingga sekolah gratis bisa terwujud bagi semua siswa.



Pada 2008, alokasi beasiswa bagi siswa miskin jenjang SD senilai Rp 360.000/siswa/tahun diberikan kepada 690.000 siswa di seluruh Indonesia. Beasiswa yang dikirimkan lewat pos langsung kepada siswa itu bisa dipakai untuk biaya personal seperti pembelian baju seragam, alat tulis, buku, atau transportasi.



Adanya kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen pada 2009, salah satunya dialokasikan untuk peningkatan beasiswa bagi siswa miskin dari masyarakat umum menjadi 1.796.800 siswa dengan nilai Rp 360.000/siswa/tahun. Selain itu, ada bantuan pendidikan anak PNS golongan I dan II serta Tamtama TNI/POLRI untuk 405.338 siswa sebesar Rp 250.000/siswa/tahun.



Dewi Asih Heryani, Kepala Subdirektorat Kesiswaan Direktorat TK dan SD Depdiknas, menjelaskan beasiswa senilai Rp 748 miliar lebih itu dialokasikan ke semua pemerintah provinsi. Pembagian diprioritaskan untuk anak-anak miskin yang rawan putus sekolah.



Saat ini sebanyak 841.000 siswa SD atau 2,90 persen dari total murid SD/MI sekitar 28,1 juta putus sekolah. Pada akhir 2008 ini ditargetkan tidak ada lagi anak usia SD yang tidak menikmati layanan pendidikan dasar.

ELN

sumber:kompas.com

Wah, Aktif di OSIS Juga Bisa Dapat Beasiswa!

Minggu, 12 April 2009 | 14:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Memang, di Prasetiya Mulya Business School, Jakarta, terdapat tiga kategori beasiswa. Pertama, beasiswa prestasi untuk siswa yang lolos tes dengan katagori A. Kedua, beasiswa dari para alumni untuk siswa yang tidak mampu dan ketiga untuk siswa yang berdomisili di luar Jabotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).

Khusus beasiswa prestasi, Prasetiya Mulya Business School memeruntukkannya bagi para calon mahasiwa yang ikut tes masuk strata sarjana (S-1). Si calon mahasiswa harus lulus dengan nilai kategori A. Nilai nominal beasiswanya cukup besar, mulai 25 hingga 61 juta rupiah untuk perkuliahan pada tahun pertama.

Bukan hanya itu. Beasiswa prestasi tersebut juga tidak tertutup kemungkinan terus bisa dinikmati hingga memasuki tahun ke IV. Hanya syaratnya, si mahasiwa penerima beasiswa bisa mempertahankan nilainya dengan baik.

Sementara itu, beasiswa alumni akan diberikan kepada calon mahasiswa yang tidak mampu. Mereka harus lulus seleksi masuk dengan nilai kategori B. Beasiswa ini akan diberikan secara penuh sampai mahasiswa selesai kuliah. Sekali lagi, syaratnya harus tidak mampu.

Lain halnya dengan beasiswa khusus pelajar yang berdomisili di luar Jabodetabek. Beasiswa ini baru akan digulirkan pada tahun ajaran 2010 mendatang. Syaratnya, calon mahasiswa penerima beasiswa jenis ini bukan hanya berprestasi secara akademis, melainkan juga punya prestasi dan potensi bagus dalam kemampuan kepemimpinan (leadership skill), semisal OSIS atau organisasi kesiswaan lainnya.

Nah, tidak rugi kan aktif di organisasi? Apalagi kesempatannya lumayan besar, karena setiap tahun ajaran baru jumlah penerima beasiswa di kampus ini bisa mencapai 1 - 20 mahasiswa!


Sumber: Kompas Cetak/MUDA

LTF

Daripada Renovasi Gedung DPR, Mending Bangun Sekolah Rusak

Sabtu, 15 November 2008 | 11:40 WIB

JAKARTA, SABTU - Renovasi Gedung Nusantara I DPR yang menelan biaya hingga Rp33,4 miliar, dinilai bukanlah hal yang tepat dilakukan. Menurut pengamat politik Bachtiar Effendy, renovasi itu tak terlalu mendesak melihat kondisi ruang kerja anggota dewan yang masih cukup baik.

"Apa yang dilakukan DPR (Sekretariat Jendral) saat ini, menunjukkan ketidakmampuan penyusunan anggaran untuk menetapkan mana yang prioritas, mana yang tidak. Lebih baik, uang untuk renovasi digunakan memperbaiki sekolah yang rusak," kata Bachtiar, Sabtu (15/11), di Jakarta.

Prioritas yang dimaksud Bachtiar, bagaimana meningkatkan kemampuan menyusun anggaran yang baik dan tepat guna, kemampuan mengawasi dan menjalankan fungsi legislasi. "Kalaupun ada renovasi, ya sebaiknya fokus ke penambahan ruangan kerja anggota dewan yang tahun 2009 akan bertambah, itu saja," ungkapnya.

"Saya melihat ruang kerja anggota DPR meskipun tidak mewah, masih cukup baik dan cukup luas. Jadi yang diperlukan adalah tambahan ruang, bukan renovasi," lanjut Bachtiar. Apalagi, hal-hal yang dilakukan DPR selama ini selalu menuai kritik masyarakat. Oleh karena itu, ia mengimbau agar DPR lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas hal-hal yang dilakukan.

Inggried Dwi Wedhaswary

sumber:kompas.com

Kabupaten Bandung Punya Gedung Sekolah Tahan Gempa

Rabu, 8 April 2009 | 13:44 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Didit Putra Erlangga Rahardjo

BANDUNG, KOMPAS.com — Kabupaten Bandung kini memiliki satu unit sekolah dasar dengan spesifikasi bangunan yang tahan gempa. Bangunan yang terletak di Desa Sukamulya, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, tersebut diresmikan pada hari Rabu (8/4) oleh perwakilan dari Koalisi Keamanan Sekolah Global (COGS) serta Pusat Pembangunan Daerah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCRD).

Menurut Koordinator UNCRD Shoichi Ando, pembangunan gedung sekolah ini merupakan proyek percontohan di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia, hanya ada dua lokasi pembangunan SDN tahan gempa, yaitu di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Selain Indonesia, proyek ini juga dilakukan di India untuk perwakilan Asia Selatan, Uzbekistan untuk Asia Tengah, dan Kepulauan Fiji mewakili Kepulauan Pasifik.

Tujuan dari pembangunan sekolah tahan gempa ini adalah untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang aman bagi para murid. Selain pembangunan bangunan sekolah, masyarakat juga dilibatkan, seperti prosedur keselamatan saat gempa berlangsung.

Tenaga Ahli Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung Dyah Kusumastuti menuturkan, sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi. Selain Pulau Kalimantan, pulau lain memiliki risiko tinggi terkena gempa sehingga harus memiliki bangunan yang tahan gempa.

Prinsipnya, terang Dyah, bangunan tahan gempa adalah bangunan yang kokoh setiap elemennya, selain itu juga saling berkaitan. Kalau pembangunan rumah juga mematuhi standar pembangunan yang dikeluarkan pemerintah, kemungkinan untuk tahan terhadap gempa jauh lebih tinggi.


sumber:www.kompas.com

Nasib Guru Agama Diknas Terkatung-katung

Selasa, 7 April 2009 | 19:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Guru-guru agama yang mengajar di sekolah umum memprotes ketidakjelasan nasib mereka pada pelaksanaan sertifikasi akibat dualisme birokrasi antara Departemen Pendidikan Nasional dan Depatemen Agama. Padahal, selama ini para guru agama di sekolah umum mendapat gaji dari dinas pendidikan kota/kabupaten, tetapi pada pelaksanaan sertifikasi justru diserahkan kepada Departemen Agama.

Kebijakan itu dinilai tidak adil buat sekitar 170.000 guru agama yang mengajar di sekolah umum. Pasalnya, kesempatan mereka untuk mendapat kuota sertifikasi terbatas dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok per bulan sampai saat ini belum dibayarkan, sedangkan guru-guru lain di bawah Depdiknas umumnya menjalani proses sertifikasi dan pembayaran tunjangan profesi yang lancar.

Proses sertifikasi guru agama di sekolah umum yang dialihkan ke Depag itu berdasarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Depag dan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Tahun 2007. Mekanisme dan instrumen sertifikasi guru di lingkungan Depag pada prinsipnya mengikuti Depdiknas, sesuai peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

Ketidakjelasan nasib guru pegawai negeri sipil bernomor induk pegawai 13 itu mendorong perwakilan guru agama yang mengajar di sekolah umum dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, mengadu ke Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Selasa (7/4). Perwakilan guru didampingi Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo mendatangi Departemen Agama (Depag) yang ditemui Imam Tholkhah, Direktur Pendidikan Agama Islam pada pada Sekolah Depag.

"Kami ini jadi bingung harus mengadu ke mana. Saya bolak-balik ke Depdiknas dan Depag, sampai detik ini tidak ada kejelasan. Sampai tadi, tidak juga ada patokan yang jelas kapan tunjangan profesi guru agama dibayarkan," kata Masyhuri, guru agama di SMPN 3 Surakarta, Jawa Tengah, yang mendapat surat keputusan sebagai guru profesional sejak November 2007.

Daud Buang, guru agama SMAN 2 Purwokerto, Jawa Tengah, menuturkan, kondisi ini membuat guru agama di sekolah umum merasa dianaktirikan oleh Depdiknas. Pasalnya, guru bidang studi lain di bawah Depdiknas yang masa kerjanya di bawah mereka bisa mendapat jatah sertifikasi lebih dahulu.

"Di sisi lain, Depag lebih dulu memprioritaskan guru-guru madrasah. Ini membuat nasib kami tidak menentu," kata Daud.

Afrizal Abuzar, guru agama SMAN 46 Jakarta, menegaskan, guru-guru agama di sekolah umum meminta supaya tunjangan profesi dibayarkan sesuai dikeluarkannya surat keputusan guru profesional. Selain itu, guru agama meminta supaya proses sertifikasi dan pembinaan dikembalikan saja kepada Depdiknas.

Mustaqim dari Forum Komunitas Pendidikan Guru Agama Islam Banyumas mengatakan, pembinaan untuk guru-guru agama di sekolah umum dari Depag ini minim. Komunitas guru agama sendiri yang harus giat untuk mengembangkan diri. "Rasanya aneh saja, selama ini yang tahu soal gaji kita Diknas, kok sekarang sertifikasi diserahkan ke Depag," kata Mustaqim.

Sulistiyo mengatakan, Depag harus segera memperbaiki pelaksanaan sertifikasi hingga pembayaran tunjangan profesi dengan segera. Sebab, dasar pelaksanaan sertifikasi kuota tahun 2006-2008 antara guru di bawah Depag dan Diknas sama yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, tetapi ketidakberesan justru banyak terjadi di Depag.

Menurut Sulistiyo, meskipun sudah diumumkan adanya surat edaran Menteri Agama sebagai dasar untuk pembayaran tunjangan profesi guru di bawah Depag, nyatanya sampai saat ini tidak ada kejelasan kapan tanggal pastinya. "Kami minta supaya tunjangan profesi guru agama ini dirapel sehingga hak-hak mereka dapat dipenuhi dengan segera," tegas Sulistiyo.

ELN

sumber:kompas.com

Ratusan Guru di Bandung Ikut Tes Urine

Selasa, 2 Desember 2008 | 15:54 WIB


Laporan Wartawan Kompas Yulvianus Harjono

BANDUNG, SELASA - Ratusan guru-guru dan pegawai tata usaha yang berstatus pegawai negeri sipil di sekolah-sekolah menengah atas di Kota Bandung mengikuti tes urine dalam dua hari terakhir. Tes ini untuk mengetahui ada tidaknya guru atau pegawai TU di sekolah yang mengonsumsi narkoba.

Seperti yang terpantau di SMAN 9 Kota Bandung, Selasa (2/12) puluhan guru di sekolah ini mengantre untuk di tes urine. Total ada 67 guru dan staf TU SMAN 9 yang dites urine. Sekolah yang lokasinya berdekatan Bandara Husein Sastranegara ini satu dari 12 SMA di Kota Bandung yang diwajibkan mengikuti tes urine untuk seluruh jajarannya.

Tes dilakukan oleh petugas gabungan dari Inspektorat (Bawasda) Kota Bandung dan Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung. Tim berjumlah tujuh orang. Menurut para petugas, pemeriksaan urine untuk guru-guru dan karyawan sekolah di tingkat SMA ini baru pertama kalinya dilakukan. Menurut rencana, tes serupa akan diperluas di sekolah-sekolah lainnya.



Yulvianus Harjono

sumber:www.kompas.com

WC Sekolah Mendadak Jadi Lokasi Favorit Murid

Kamis, 24 April 2008 | 00:17 WIB

Pada penyelenggaraan hari pertama ujian nasional, Selasa (22/4), WC sekolah di beberapa sekolah di Riau menjadi lokasi favorit murid untuk ”mencari inspirasi”. Puluhan murid terlihat silih berganti masuk dan keluar tempat buang air itu. Ternyata teknik mencari inspirasi di WC itu sangat ampuh, karena di dinding WC sudah tersedia kunci jawaban soal yang diujikan pada hari itu.

Berdasarkan pantauan Kompas bersama Tribun Pekanbaru, kunci jawaban di WC sekolah terlihat di SMA Negeri VI, SMK N I, dan SMA Negeri I Pekanbaru. Sementara di SMA Negeri III Duri, Kabupaten Bengkalis, kunci jawaban berada di kantin sekolah. Kelakuan murid masuk keluar kantin itu tidak mendapat teguran dari pengawas.

Kepala Sekolah SMA Negeri VI Pekanbaru, Wan Syamsu Rizal, ketika dikonfirmasi tentang kejadian aneh di WC sekolahnya, meminta agar masalah itu tidak dipolemikkan lebih dahulu. Menurut dia, bisa saja lembaran yang ada di WC Sekolah merupakan kunci jawaban dari soal-soal ulangan lain atau materi try out sebelumnya.

Beri jawaban

Seorang guru pengawas di SMA II Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, kepada Kompas menyatakan melihat langsung guru pengawas lain memberikan jawaban kepada murid-muridnya di depan kelas. Ketika seorang guru pengawas mencoba menegur, pengawas itu menyatakan, dia hanya menjalankan kesepakatan lima sekolah yang dilaksanakan hari Senin sebelumnya.

”Hari Senin kemarin, bertempat di SMA Negeri I Selatpanjang, terjadi pertemuan lima sekolah di Selatpanjang. Pada pertemuan itu dibuat kesepakatan agar guru memberi kunci jawaban kepada murid- muridnya,” kata seorang guru pengawas itu.

Seorang guru pengawas itu menambahkan, pada saat ujian Bahasa Indonesia, guru-guru Bahasa Indonesia yang seharusnya mengawas di sekolah lain diperkenankan kembali ke sekolahnya. Di sekolah asalnya, guru- guru itu diberi tugas menjawab soal ujian dan selanjutnya disebarkan kepada murid. (SAH)

sumber:Kompas Cetak

Minim, Perlindungan Kesehatan Untuk Guru

Minggu, 5 April 2009 | 18:22 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu

JAKARTA, KOMPAS.com - Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja terhadap guru seperti yang diamanatkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen masih minim. Kondisi memprihatinkan dialami guru-guru swasta karena baru sekitar 20 persen dari sekitar 1,2 juta guru swasta yang mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja di sekolah.



"Guru-guru PNS mendapat tunjangan kesehatan dari Asuransi Kesehatan untuk guru tersebut, istri, dan dua anak. Untuk guru swasta, masih sedikit guru yang mendapatkan tunjangan kesehatan dan keselamatan kerja dari sekolah atau yayasan. Para guru swasta itu harus menanggung sendiri resiko jika sakit atau mengalami kecelakaan. Ini kan tidak adil, sedangkan pekerja swasta di sektor lain saja ada keharusan untuk bisa memberikan perlindungan kerja dan kesehatan untuk pegawainya," kata Suparman, Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia di Jakarta, Minggu (5/4).



Menurut Suparman, sebenarnya perlindungan untuk guru, di antaranya soal kesehatan dan keselamatan kerja sudah secara tegas diatur dalam UU Guru dan Dosen serta PP Nomor 74 Tahun 2008 soal Guru. Perlindungan itu harus diberikan satuan pendidikan atau sekolah dan penyelenggara pendidikan, mulai dari pemerintah, pemerintah daerah, dan yayasan.



Menyejahterakan, melindungi, dan meningkatkan kualitas pendidik, kata Suparman, harus dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah dan semua pihak. Sebab, apa yang diterima guru itu akan kembali kepada anak didik dalam rangka memenuhi hak anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.



"Implementasi di lapangan yang harus dipastikan berjalan dengan baik. Pemerintah perlu intervensi untuk emmbantu guru-guru swasta mendapat perlindungan itu jika sekolah mereka dari hasil audit memang tidak mampu memberikan hak itu.," kata Suparman.



Dede Permana, Koordinator Guru Swasta Jawa Barat, mengatakan kesejahteraan guru swasta secara umum sangat timpang dari guru PNS. Ketentuan yang ada hanya mengutamakan guru PNS, tetapi mengabaikan guru swasta yang juga berperan besar untuk mendidik generasi penerus bangsa.



Dede yang sudah lima tahun menjadi tenaga pengajar di SMK swasta di Cirebon mengatakan guru tetap yayasan dan guru tidak tetap (honorer) di sekolahnya tidak mendapat tunjangan kesehatan dan keselamatan kerja. Kondisi ini membuat guru was-was jika penyakit tidak terduga muncul, tetapi guru tidak berdaya.



"Tidak banyak sekolah swasta yang bisa memebrikan kesejahteraan yang layak untuk gurunya. Apalagi sekolah swasta sekarang harus ebrsaing dengan sekolah negeri, akibatnya sekolah swasta yang kurang murid semakin sulit membayar guru. Masih ada guru yang jam mengajar per jamnya dibayar Rp 5.000," kata Dede.



Bukan hanya guru swasta, guru honorer di sekolah negri juga mengalami nasib yang sama. Rudi, guru honorer di SDN di Kabupaten Bogor, tidak mendapat tunjangan kesehatan dan keselamatan kerja meskipun sudah 27 tahun mengabdi. Tambahan gaji juga tidak diberikan secara menentu dari pemerintah daerah.



Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar persatuan Guru Republik Indonesia, mengatakan pemerintah mesti turun tangan untuk memastikan tidak ada lagi pendidik di seluruh pelosok Tanah Air yang bergaji di bawah Rp 100.000. "Kami sudah meminta kepada pemerintah untuk bisa memanusiawikan guru dengan melarang dan menindak tegas pihak yang menggaji guru di bawah Rp 100.000 per bulan," ujar Sulistiyo.

sumber:www.kompas.com

Anak Autis Butuh Guru Pendamping

Minggu, 21 September 2008 | 16:13 WIB

MEDAN, MINGGU - Anak autis yang baru belajar di sekolah umum memerlukan guru pendamping (shadow teacher) selain guru yang ada di depan kelas dan sifatnya hanya sementara sampai anak bisa mandiri di dalam kelas.

Koordinator Yayasan ISSADD Indonesia Medan, E. Pratiwi, di Medan, Minggu (21/9), mengatakan, hampir semua sekolah di Indonesia lebih memprioritaskan muatan akademik yang bersifat teori dan menghafal pada siswanya.

Muatan akademik yang lebih banyak menuntut siswa untuk paham secara teori itu akan sulit diikuti oleh anak autis karena anak autis adalah visual learner, yakni butuh materi yang dipresentasikan dalam bentuk visual agar konsepnya bisa dipahami.

"Di sinilah dibutuhkan peran guru pendamping untuk menjelaskan kepada anak autis apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan intruksi dari guru di depan kelas," katanya.

Ia mengatakan, sebagian orangtua yang memiliki anak autis menyadari beratnya tuntutan akademik sekolah di Indonesia, sehingga mencoba mencari sekolah yang tidak terlalu banyak muatan akademik dengan metode belajar-mengajar yang juga disajikan dengan lebih menyenangkan dan penuh bantuan visual.

Namun sayangnya, biasanya kegiatan belajar dan mengajar di sekolah tersebut lebih banyak dilakukan dengan bilingual (bahasa Inggris), padahal hampir sebagian besar anak autis bermasalah dengan bahasa.

Untuk itu dibutuhkan koordinasi antara pihak sekolah, orangtua, dan terapis dalam menentukan bagaimana menangani anak dengan kebutuhan khusus (autis) di sekolah.

"Selama ini penanganan satu kasus anak autistic dengan yang lain selalu disamakan, pihak sekolah juga melarang pendamping untuk ikut serta dalam kegiatan belajar dan mengajar walau pendamping sifatnya hanya sementara," ungkapnya.

Di negara maju seperti Australia dan Singapura, telah dikembangkan metode IEP (individual education program) untuk anak yang berkebutuhan khusus.

Program ini dibuat atas kerjasama pihak sekolah, orangtua dan terapis yang didasari potensi dan kemampuan anak, dimana ada beberapa muatan akademik yang disesuaikan dengan kemampuan anak autis tersebut.

Dalam hal ini harus ada kerjasama antara pihak sekolah, orangtua dan terapis. Praktiknya, anak autistik tetap disatukan dengan anak normal lainnya tapi pola belajarnya berbeda, misalnya memberikan instruksi tidak hanya dengan mengatakan instruksi tersebut tapi juga dibantu dengan bantuan visual, ujarnya.

AC
Sumber : Antara

Robohnya "Sekolah" Kami

Jumat, 2 Mei 2008 | 00:20 WIB

tonny d widiastono

Hari Pendidikan Nasional kali ini kita peringati dengan suasana prihatin. Penetapan Hari Pendidikan Nasional menggunakan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, Menteri Pengajaran pertama, Bapak Pendidikan Indonesia.

Seandainya Ki Hadjar Dewantara masih sugeng dan melihat pendidikan di Indonesia kini, mungkin ia akan mengernyitkan dahi.

Kita prihatin melihat banyak gedung SD yang rusak. Data dari Depdiknas sebagai hasil Rembugnas Pendidikan Juni 2007 menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas yang rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai program 2008. Kebanyakan ruang kelas SD yang rusak itu ada di Pulau Jawa, 52 persen (276.695 unit).

Kisah pilu di balik kerusakan ruang kelas banyak dimuat media. Kita sedih saat 28 Maret 2003, Dicky Bastian (7), murid SD Negeri 2 Cangkring, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, meninggal dunia tertimpa atap gedung sekolah. Tanggal 27 Maret, 20 siswa kelas II A SD Pasundan III, Bandung, yang sedang belajar di kelas tertimpa atap ruang kelas. Itu sedikit dari banyak contoh.

Runtuhnya ruang kelas yang melukai siswa tentu memilukan. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan fisik dan psikologis serta gedung sekolah yang seharusnya memberi rasa aman dan nyaman ternyata menjadi ancaman yang tidak hanya memupus cita-cita, tetapi juga bisa mencabut nyawa.

Saat mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa, 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara menghendaki agar sekolah menjadi taman, tempat mekarnya bunga-bunga bangsa, tempat memupuk semangat nasionalisme, serta memacu kerja keras dan pantang menyerah, dengan dasar kasih sayang.

Atas kerusakan ruang-ruang kelas ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berjanji, dalam tiga tahun ke depan semua bangunan sekolah yang bobrok sudah selesai direnovasi (Kompas, 3/5/2005). Kini kita hidup pada tahun 2008, tetapi ruang kelas yang rusak masih banyak. Jangankan sekolah bobrok di seluruh Indonesia sudah selesai direnovasi, di Jakarta pun masih banyak ruang kelas yang rusak.

Nasib guru

Ihwal guru, mereka berperan penting dalam pendidikan. Namun, pernahkah kita memerhatikan bagaimana menyiapkan guru. Harapan akan guru berkualitas selalu mencuat. Namun, itu semua terhenti di ruang diskusi dan sebatas wacana. Seolah masalah sudah terurai saat masalah itu dibicarakan.

Selain tidak disiapkan secara matang, kini menjadi guru adalah karena kondisi, bukan karena ”panggilan”.

Meski harapan kepada guru setinggi langit, penghargaan kepada mereka amat rendah. Beruntunglah mereka yang sudah diangkat menjadi guru tetap. Meski gajinya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka tetap ada pemasukan tiap bulan.

Namun, bagaimana dengan nasib guru honorer? Harian ini berkali-kali melaporkan, betapa rendahnya penghargaan kepada mereka. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun hanya ”dihargai” Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan. Jumlah tersebut jauh di bawah upah minimum regional atau upah minimum provinsi.

Keadaan ini memaksa para guru honorer hidup serba kekurangan. Dengan penghasilan yang minim, jangankan mereka bisa menyekolahkan anaknya sendiri, untuk makan sehari-hari pun sudah terasa amat sulit. Dalam kondisi serba kekurangan, para guru honorer ini masih sering dituntut melebihi kemampuannya.

Harapannya, hal yang perlu segera dibenahi adalah memanusiakan para guru honorer atau guru kontrak. Bagaimanapun, guru adalah profesi. Namun, bagaimana mungkin tugas mendidik, membentuk, dan menyiapkan manusia diserahkan kepada guru honorer? Guru adalah pencipta masa depan bangsa. Pertanyaannya, di negeri mana pendidik hanya dikontrak?

Lembaga pelatihan

Banyak pihak menyadari, sekolah adalah lembaga pendidikan, tempat penanaman nilai-nilai, baik nilai cinta kasih, solidaritas, maupun kreativitas. Namun, fungsi sekolah sebagai penyemai nilai-nilai dan tempat untuk menyiapkan masa depan anak bangsa kini mengalami degradasi.

Hadirnya ujian nasional (UN) yang dikeluhkan banyak pihak tidak ”nyambung” dengan kondisi nyata di sekolah, membuat suasana pendidikan berubah.

Beberapa bulan menjelang UN banyak sekolah beralih fungsi menjadi lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang hanya mengajarkan pelatihan soal. Fenomena tahunan ini terus terulang. Bimbel menjamur dan para pengelola kian gencar memasarkan jasanya. Anehnya, sekolah menyambut para penjual jasa dengan tangan terbuka.

Hasilnya, gaya belajar drill dan try out berjangkit. Cara ini dianggap paling cocok dan ampuh menghadapi UN, baik untuk siswa kelas IX (SMP) dan kelas XII (SMA). Dengan cara itu, siswa seperti terbelenggu oleh target, harus lulus.

Pertanyaannya, inikah cara kita mendidik calon pemimpin? Padahal, menurut Ki Hadjar, substansi pendidikan adalah upaya memerdekakan manusia. Mampukah drill membebaskan siswa?

Entahlah. Namun, inilah gambaran nyata robohnya sekolah dari tugas utamanya.

sumber:www.kompas.com

Sekolah Sehat, Andalkan UKS!

Kamis, 4 Desember 2008 | 17:05 WIB

YOGYAKARTA, KAMIS - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hingga kini tetap berusaha mengoptimalkan keberadaan unit kesehatan sekolah (UKS) terutama di tingkat sekolah dasar (SD).

"Kami menerapkan ’trias UKS’ dalam usaha mengoptimalkan UKS di tingkat SD di Kabupaten Bantul," kata Kepala Dinkes Kabupaten Bantul, Siti Noor Zaenab, Kamis.

Trias UKS tersebut adalah memberikan pendidikan kesehatan di SD, memberikan pelayanan kesehatan di sekolah, dan menciptakan lingkungan sekolah yang bersih dan sehat.

"Mengenai pendidikan kesehatan, dinkes minta petugas puskesmas untuk memberikan penyuluhan kepada guru atau murid atau dari guru langsung ke murid," katanya.

Sedangkan mengenai pelayanan kesehatan di sekolah dibagi tiga pelaku, yakni pelayanan yang dilakukan oleh dokter kecil, oleh guru UKS yang sudah dilatih dan oleh murid kelas empat atau kelas lima.

Siti mengatakan, pendidikan yang diajarkan di UKS sangat sederhana, tetapi cukup membantu untuk pencegahan. Misalnya mengobati luka ringan, pingsan, pusing dan mual.

Obat yang ada di UKS juga obat-obat yang bebas dijual di pasaran, seperti obat pusing, obat merah, balsem dan alkohol. "Hampir sama dengan isi kotak P3K yang ada di rumah," katanya.

Sedangkan upaya menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat mencakup dalam ruang kelas, seperti kebersihan lemari, laci, meja dan lantai, kemudian halaman sekolah termasuk pedagang yang berjualan di luar sekolah.

Ia menganjurkan agar petugas UKS mengawasi makanan yang dijajakan di luar sekolah. Harus diperhatikan kadar warna yang terlalu mencolok dan kebersihannya. "Meski demikian murid sebaiknya membeli makanan di warung atau kantin di dalam sekolah yang mudah diawasi tingkat kesehatan dan kebersihannya. Kalau mau lebih baik lagi murid membawa bekal dari rumah masing- masing," katanya.

Pelayanan UKS di sekolah merupakan langkah pertama, kalau tidak bisa menanganinya lagi tentu akan dibawa ke puskesmas atau memanggil petugas puskesmas ke sekolah.

Ia menambahkan, pelayanan kesehatan seperti ini sama seperti yang diterapkan pada tingkat SMP dan SMA. Namun jika SD punya dokter kecil, SMP dan SMA sebutannya PKS atau Petugas Kesehatan Sekolah.

"Untuk Kabupaten Bantul, 50 persen lebih UKS di sekolah berfungsi dengan baik. Sebenarnya hal ini tergantung pada guru dan kepala sekolah, jika mereka mendukung, pasti semua lancar dan berfungsi baik," katanya.

ABD
Sumber : Antara

PLK Cari Siswa Putus Sekolah

Senin, 13 April 2009 | 11:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan disebabkan, antara lain, karena kemiskinan, anak-anak yang menjadi pekerja, anak-anak yang tinggal di daerah terpencil atau terasing. Anak-anak tersebut bisa mengikuti program PLK yang diselenggarakan masyarakat setempat dengan bantuan pendanaan dari pemerintah.

Seperti di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, siswa yang putus sekolah pendidikan dasar tercatat 2.000 orang. Tapi, dari siswa yang putus sekolah itu baru bisa ditampung di PLK yang baru dirintis awal tahun 2009.

Menurut Wakil Bupati Gresik, Sastro Soewito, PLK di Bawean merupakan program baru yang dikembangkan di Gresik. Masih ada anak-anak di Bawean yang tidak bisa sekolah dan sekolah pun sulit dijangkau.

”Bawean ini terkenal sebagai pulau dengan 99 pegunungan. Jarak dari rumah ke sekolah bisa mencapai 20 kilometer. Sangat sulit ke sekolah, karena belum ada jalan-jalan yang memadai”, kata Sastro di Pulau Bawean, Sabtu (11/4).

Selain itu, listrik di pulau itu belum sepanjang hari bisa dinikmati, melainkan hanya setengah hari dari pukul 17.00 hingga 10.00. ”Tapi PLN lebih sering mati daripada hidup,” katanya lagi.

Sumiyati (13), salah satu peserta PLK di Pulau Bawean, sekitar setahun ini tidak bersekolah lagi di SMP, karena orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Namun, dua bulan terakhir ini dia kembali bisa belajar di PLK. Sumiyati belajar matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan komputer.

”Seperti pisau, kalau tidak sering dipakai akan karatan, saya tidak mau seperti itu. Saya ingin terus belajar,” ucap Sumiyati.

Saat ini anak-anak yang belum bisa mengikut pendidikan di sekolah, antara lain anak-anak yang menghuni lembaga pemasyarakatan 2.000-an anak, pekerja anak 2,6 juta, dan anak-anak di daerah transmigrasi 15.000 anak.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ekodjatmiko Sukarso mengatakan, PLK dibentuk oleh masyarakat. Terutama masyarakat yang peduli pendidikan anak dengan menyediakan ruang belajar dan mencari siswa putus sekolah. Sedangkan pemerintah memberi honor guru, misalnya honor guru PLK Rp 55.000 untuk satu kali pertemuan belajar dengan siswa.

Dia menjelaskan, siswa yang belajar di PLK tidak memerlukan seragam, ruang belajar pun fleksibel. ”Belajar bisa di mana saja, di bawah pohon atau di pinggir pantai”, ucapnya. Ekodjatmiko berharap, dengan program PLK bukan mustahil bisa menemukan ”mutiara” yang bisa dibanggakan. (Warkot/Intan Ungaling)

sumber:www.kompas.com

Sekolah Bahasa Inggris di Luar Negeri?

Senin, 13 April 2009 | 11:03 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Memang, meskipun sedikit lebih mahal, pilihan tersebut merupakan "metode tercepat" untuk meningkatkan skil bahasa Inggris Anda. Sejak membuka mata di pagi hari hingga menjelang lelap di malam hari, Anda akan dikelilingi oleh segala hal yang serba berbahasa Inggris.

Secara alami dan otomatis, kondisi tersebut memang akan meningkatkan ketajaman Anda berbahasa. Tak hanya secara formal sesuai tren terkini tata bahasa, melainkan juga perbendaharaan kata, bahkan bahasa gaul sekali pun. Mulai dari ruang kelas, kantin, bioskop, kafe, koran, televisi, radio, dan sebagainya di sekitarnya, akan memaksa Anda berbahasa Inggris setiap waktu.

Hanya saja, tidak gampang memilih sekolah biar tidak "tekor" di kantong. Ambil contoh, saat memilih ke Inggris atau Kanada sebagai negara tujuan studi Anda, misalnya.

Beruntungnya, kehadiran internet saat ini terbuka lebar untuk Anda membuka jendela informasi mengenai segala panduan atau tuntunan memilih studi di sana. Di Indonesia pun, banyak agen pendidikan siap membantu. Untuk itulah, ada beberapa hal di bawah ini yang mungkin bisa membantu Anda sebelum memilih sekolah:

Metode dan Kurikulum
- Ketahui kurikulumnya dan buat perbandingan pilihan kurikulum dari beberapa sekolah
- Tidak ada salahnya mengetahui lebih jauh track records si pembuat kurikulum. Hal itu akan berkaitan dengan metode pembelajaran dan evaluasi yang tepat untuk mengukur perkembangan Anda sendiri di masa studi selanjutnya

Kualifikasi Guru
- Bagaimana kualifikasi calon guru Anda di sana? Tidak sedikit sekolah di sana yang memunyai guru-guru kurang berkualifikasi, yang hanya memakai buku pedoman standar
- Setinggi apa tingkat pergantian guru di sana?
- Berapa lama sudah mereka mengajar di sekolah tersebut? Dan, bagaimana kualitasnya?
- Bagaimana jika dibandingkan kualitas pengajar asing yang pernah Anda temui di sini?

Aturan Main
- Adakah kebijakan yang akan membuat Anda tak pernah lepas menggunakan bahasa Inggris Anda? Perlu diingat, Anda khusus datang untuk bersekolah bahasa. Alhasil, sejatinya segala kondisi dan lingkungan sekitar yang diciptakan di tempat studi tersebut harus membuat Anda menerapkan konsep "English Day" setiap hari.

Fasilitas Pendukung
- Pastikan, bahwa hal pendukung proses belajar mengajar seperti perpustakaan dan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi akan melengkapi kemampuan Anda meng-update dan meng-up grade kemampuan berbahasa Anda setiap hari. Hal ini akan terkait dengan kekinian bahasa di luar kurikulum dan menjadi pengetahuan umum tambahan Anda secara signifikan

Kisaran Biaya
Tidak sama dengan di sini, karena hitungan biaya sekolah di sana kerap memakai sistem per jam, baik itu menggunakan jumlah jam per minggu atau jumlah kelas per minggu. Sebutlah contohnya, program yang menawarkan 20 jam per minggu dengan rate biaya sekitar $300 ($15 per jam). Tentunya, kisaran biaya ini lebih murah ketimbang program yang menawarkan 20 kelas per minggu.

Biaya yang ditawarkan, misalnya, untuk program 20 kelas per minggu itu sebesar $275. Bandingkan, jika lamanya waktu belajar untuk satu kelas adalah 45 menit, terhitung biaya per jam yang harus Anda bayarkan adalah sebesar $18.33. Terhitung, biaya sekolah Anda jadi lebih mahal sekitar $3 per jam.

Memang, $3 per jam bukan jumlah besar. Tetapi jangan terbuai, karena kesan itulah yang biasanya muncul pertama kali. Karena jika mau lebih dicermati lagi, semisal kalikan selisih biaya tersebut dengan waktu studi Anda selama 6 bulan, tak pelak jumlah tersebut akan cukup besar memengaruhi pengeluaran Anda.





LTF

sumber:www.kompas.com

Guru Bantu di Jakarta Sulit Jadi PNS

Selasa, 21 Oktober 2008 | 17:44 WIB

Guru bantu di DKI Jakarta tidak mudah diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Posisi guru bantu di Jakarta berbeda dengan guru bantu di daerah lain di Indonesia. Umumnya, guru bantu di Jakarta mengajar di sekolah swasta, bukan di sekolah negeri.

"Pemerintah dalam memanfaatkan guru bantu di DKI Jakarta dan di daerah lain berbeda. Kalau di daerah, guru bantu dimanfaatkan untuk sekolah-sekolah negeri, tetapi khusus di DKI Jakarta guru bantu dimanfaatkan di sekolah-sekolah swasta," kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Margani Mustar, di Jakarta, Selasa (21/10).

Ia menyampaikan hal itu untuk menyikapi tuntutan para guru bantu jadi PNS. Posisi guru bantu di Jakarta yang demikian, kata dia, menyulitkan Pemprov DKI Jakarta. "Kalau guru swasta itu diangkat menjadi guru PNS dan kemudian ditempatkan di sekolah negeri, maka sekolah swasta pasti akan protes, sebaliknya jika guru-guru tersebut akan ditempatkan di sekolah swasta maka pemerintah DKI Jakarta belum punya cukup uang untuk menggaji guru bantu tersebut," ungkapnya.

Ia mengatakan, kemauan baik pemerintah sudah cukup tinggi terhadap guru bantu ini. "Mereka setiap bulan diberi tunjangan kesejahteraan sebesar 500 ribu dan ini tidak terjadi di daerah lain, padahal jumlah guru bantu di Jakarta ini mencapai 2000 orang," katanya.

Ia juga mengakui permasalahan guru bantu ini akan terus berlarut-larut karena ada masalah administrasi pegawai antara pusat daerah yang belum tuntas. "Jadi selama masalah administrasi ini belum selesai maka permasalahan guru bantu ini tidak akan selesai," katanya. Pihaknya yakin jika pemerintah pusat punya niat kuat untuk mengangkat guru bantu, maka persoalan administrasi itu akan selesai.

EGP
Sumber : Antara

BOS Hambat Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah

Senin, 16 Maret 2009 | 20:49 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono

BANDUNG, KOMPAS.com — Implementasi program biaya sekolah gratis selama tiga bulan terakhir ini justru memicu penurunan pelayanan pendidikan di Kota Bandung, khususnya kegiatan ekstrakurikuler. Anggaran BOS (bantuan operasional sekolah) yang diberikan hanya mencukupi biaya operasional akademis, tetapi tidak mencukupi kebutuhan di luar kegiatan akademis.

Akibatnya sekolah tak dapat memaksakan diri untuk mengadakan kegiatan ektrakurikuler seperti sebelumnya. Perlu mekanisme yang tepat sehingga memungkinkan sumbangan masyarakat dalam kegiatan tersebut.

Hal tersebut mengemuka di dalam jumpa pers pelaksanaan sekolah gratis di Kota Bandung yang diadakan Koalisi Guru Kota Bandung, Senin (16/3). Hadir para guru dari unsur-unsur Koalisi Pendidikan Kota Bandung, Federasi Guru Independen Indonesia, dan Persatuan Guru Republik Indonesia.

Menurut Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan Dan Satriana, penurunan layanan kualitas di sekolah ini sangat mungkin terjadi mengingat masih banyaknya guru yang belum terjamin kesejehteraannya, apalagi dengan adanya kebijakan sekolah gratis, guru-guru tidak lagi dimungkinkan menerima insentif khusus dari masyarakat.

"Selama gaji guru hanyalah Rp 2 juta, sementara ia harus biayai kuliah anaknya di Unpad Rp 60 juta, itu (penurunan motivasi guru) akan terjadi," ucapnya.

Menurut Ketua Umum FGII Jabar Ahmad Taufan, kesejahteraan guru sebetulnya makin membaik seiring kebijakan tunjangan profesional guru melalui sertifikasi. Namun, saat ini baru sekitar 10 persen guru yang telah memperolehnya.

"Untuk itu, kami harapkan kuota sertifikasi ini dapat disebarkan secara adil dan merata," ucapnya.

Namun, para guru yang hadir menolak anggapan jika motivasi guru menurun dan sekolah mengurangi pelayanannya selama terlaksananya sekolah gratis di 2009.

"Jika selama menyangkut tupoksi guru, yaitu perencanaan pengajaran, evaluasi, analisis, dan remedial, saya kira itu tidak jadi masalah karena itu kewajiban guru. Berbeda halnya jika itu menyangkut tugas di luar tupoksi misalnya kegiatan ekstrakurikuler," ucapnya.

"Pengaruh ini terutama akan dirasakan di sekolah favorit. Di sekolah-sekolah ini kan kegiatan ekstrakurikuler bisa mencapai puluhan. Kalau dibiayai, BOS tidak mungkin mencukupi," tutur Taufan.

Menurutnya, perlu ada kejelasan dan ketegasan dari pemerintah mengenai item peruntukan apa saja yang boleh menggunakan BOS ini. Termasuk, kebijakan mengenai pendanaan kegiatan esktrakurikuler ini.

Ketakutan

Seperti yang disampaikan Solichun, guru SMPN 42 Kota Bandung, banyak pengelola sekolah yang ketakutan dan kebingungan dalam mengelola keuangannya pascakebijakan pembebasan pungutan biaya di SD-SMP.

"Sekolah kami memilih berutang ke koperasi daripada meminta pinjaman ke orangtua siswa di kala BOS lambat turun seperti sekarang," ucapnya.

Senada dengan Solichun, Arnie Fajar, pengurus FGII Kota Bandung, berpendapat, Pemkot Bandung perlu menetapkan ketentuan dan prosedur yang memungkinkan munculnya partisipasi dana dari masyarakat.

"Termasuk kebijakan mengenai ekskul ini. Tolong dibuatkan rambu-rambunya yang seragam agar sekolah tidak bingung," ucapnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, kegiatan ekstrakurikuler tidak mungkin dapat dibiayai BOS. Maka, sekolah diperbolehkan meminta dari orangtua siswa.

"Asal, itu tidak jadi ketetapan dari sekolah. Melainkan, gerakan sukarela dari masyarakat (orangtua)," tuturnya. Menurutnya, secara prinsip, sekolah di tingkat dasar masih boleh mendapat dana dari masyarakat asalkan itu sumbangan dan dikelola secara transparan.

sumber:www.kompas.com

Hadapi UN, Guru Diberi Pendidikan Kilat

Selasa, 14 April 2009 | 19:18 WIB



PURBALINGGA, KOMPAS.com- Menghadapi ujian nasional, para guru sekolah negeri dan swasta di Kabupaten Purbalingga diikutsertakan dalam pendidikan kilat (diklat), terkait bimbingan pemberian soal UN bagi siswa. Cara itu dianggap cukup efektif meningkatkan angka kelulusan siswa di Purbalingga.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga Heni Ruslanto, Selasa (14/4), diklat semacam itu sudah dilaksanakan pada tahun lalu. Namun karena indeks kelulusan juga naik, diklat itu tampak belum bermanfaat. Tingkat kelulusan siswa pada tahun kemarin pun merosot dibandingkan tahun sebelumnya, dari 93,02 persen turun menjadi 86,7 persen.

Namun, dia berkeyakinan, diklat mempersiapkan guru menghadapi UN bagi siswa, tetap men jadi strategi yang efektif untuk meningkatkan kelulusan siswa di Purbalingga. Karena itu, diklat pada tahun ini ikut melibatkan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dari Jakarta dan Semarang, serta Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pendidikan.

Lewat diklat itu, katanya, diharapkan para guru sekolah negeri maupun swasta dapat memberikan soal-soal latihan yang tepat bagi siswa dalam menghadapi UN. "Tidak kami pungkiri, masih banyak guru yang belum menguasai soal-soal maupun kisi-kisi UN. Karena itu, lewat diklat ini, kami berusaha meningkatkan kepekaan guru akan hal itu," jelas Ruslanto.

Kendati demikian, Ruslanto mengaku, Dinas Pendidikan Purbalingga hanya berani memasang target kelulusan siswa tahun ini tak lebih dari 90 persen. "Mudah-mudahan target itu bisa tercapai," katanya.

Sementara itu, Dinas Pendidikan Banyumas tidak merekomendasikan bagi sekolah-sekolah menyelenggarakan karantina bagi siswa peserta UN. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Banyumas Purwadi, dalam beberapa hal, karantina memang bisa menjadi sarana belajar secara intensif bagi siswa yang bermukim di pelosok desa.

Namun di sisi lain, sekolah yang mengadakan karantina juga masih lemah dalam menjamin keselamatan dan kenyamanan siswa selama menginap di sekolah. "Karena itu, kami tidak merekomendasikan diadakannya lagi karantina di sekolah," katanya.

Sebagai jalan keluarnya, menurut Purwadi, setiap sekolah bisa mengadakan try-out secara berkala agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal UN. "Siswa juga bisa ikut bimbingan belajar di luar sekolah," katanya.

MDN

sumber:www,kompas.com

Guru dan Pegawai Sekolah Swasta di Yogyakarta Demo

Kamis, 17 Januari 2008 | 13:40 WIB

YOGYAKARTA, KAMIS-Ratusan orang yang tergabung dalam Ikatan Guru dan Pegawai Sekolah Swasta (IGPSS) di Provinsi DIY, Kamis (17/1), berunjuk rasa minta diangkat menjadi tenaga honorer daerah. Selain itu, mereka juga minta insentif dari provinsi maupun kabupaten/kota tetap diberikan secara adil dan merata.

Aksi dimulai dari Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, dengan cara berjalan kaki melewati perempatan kantor Pos Besar, Jalan Suryotomo, kemudian masuk ke Gedung DPRD Provinsi DIY.

Juru Bicara IGPSS Sri Sulistyaningtyas mengatakan tenaga honor daerah selama ini belum ada. "Tuntutan ini juga yng pertama kali kami minta. Kemarin-kemarin kita minta untuk jadi CPNSD, tapi karena terganjal Peraturan Pemerintah (PP) 48 akhirnya kita tidak bisa. Jadi sekarang kita minta honor daerah dulu," ujar Sri.

Jika sudah menjadi pegawai daerah, lanjut Sri pihaknya baru bisa diangkat menjadi CPNS. Kalau tuntuan itu tidak juga diwujudkan, IGPSS berjanji akan melakukan aksi yang lebih besar karena sebelumnya mereka tekah dua kali memerjuangkan nasib ke DPR RI namun kebiajakan yang diambil masih memberatkan. Sri mencontohkan, tunjangan dari APBN yang dinaikkan menjadi 200.000 dari sebelumnya Rp 115.000, disertai syarat yang cukup berat.

"Ini kan cukup berat. Tunjangan fungsional yang katanya mau diberikan Rp 500.000, ternyata baru diberikan Rp 200.000 dengan syaratnya sangat berat yanki mengajar selama 24 jam," tambahnya.

Sebagai guru dan pegawai sekolah swasta, horor para guru juga sangat kecdi dan tergantung kemampuan sekolah masing-masing. Di kabupaten Kulon Progo misalnya, masih ada guru TK yang mendapat honor dibawah Rp 100.000 per bulan. (WER)

Defri Werdiono


sumber:www.kompas.com

Guru Harus Bisa Susun Kurikulum Tingkat Sekolah

Rabu, 6 Agustus 2008 | 16:00 WIB

GRESIK, RABU - Pada tahun ajaran 2009/2010 tahun depan para guru harus bisa menyusun kurikulum di tingkat sekolah. Pimpinan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Heru Mulyanto, saat pendidikan dan latihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP di Gresik Rabu (6/8) menjelaskan sesuai Kepmendiknas No 16 tahun 2007, tahun ajaran 2009/2010 semua satuan pendidikan harus menjalankan KTSP.

"Kalau dulu kurikulum disusun terpusat, ke depan masing-masing guru harus mampu menyusun kurikulum di sekolahnya. Pentingnya peningkatan kompetensi guru, karena tak ada sekolah baik tanpa guru yang baik," kata Heru.

Ketua Panitia Program Diklat KTSP, Husnul Khuluq, mengatakan, Diklat KTSP angkatan pertama diikuti 40 guru Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Gresik. Diklat KTSP dilaksanakan selama 10 kerja mulai Rabu (6/8) hingga 20 Agustus mendatang.

Diklat terselenggara atas kerja sama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Gresik. Guru mendapatkan materi pengembangan silabus, pengembangan pakem (pendidikan aktif kreatif enak menyenangkan) dan penilaian mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengatahuan Sosial.

Bupati Gresik Robbach Ma'sum mengatakan pentingnya diklat KTSP untuk meningkatkan sumber daya para guru agar tidak tergilas teknologi. Selain itu guru sebagai pendidik harus mengerti secara detil pelajaran dan perkembangan.

"Guru jangan merasa pinter. Ada satu kasus, murid ternyata lebih pinter dari gurunya, karena murid lebih banyak tahu dari internet. Sedangkan gurunya tetap mengajar dengan metode yang sama sejak nabi Adam dulu. Kalau sesat jangan sesatkan kepada yang lain," kata Robbach.





Adi Sucipto

sumber:www.kompas.com

Guru Honorer Sekolah Negeri Rasakan Kesenjangan Kesejahteraan

Senin, 19 Januari 2009 | 20:40 WIB

JAKARTA, SENIN - Para guru honorer yang mengajar di sekolah negeri merasakan kesenjangan kesejahteraan dibandingkan dengan guru berstatus pegawai negeri sipil. Mereka meminta agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ratusan guru honorer tersebut kembali mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat siang tadi, Senin (19/1).



Ujang Miharja salah seorang guru yang ikut dalam aksi itu mengatakan, tercipta kesenjangan kesejahteraan antara tenaga honorer dan guru berstatus PNS di sekolah. Ujang sudah 15 tahun menjadi guru honorer dan kini mengajar di SMPN 1 Jatisari, Karawang. Untuk satu jam pelajaran dia mendapatkan honor Rp 15.000.

Hitungannya, kerja satu bulan dibayar satu minggu. Kalau satu minggu ada 20 jam pelajaran berarti tinggal dikalikan Rp 15.000, itu honor saya satu bulan. Ada tambahan tunjangan fungsional Rp 200.000 dan transpor dari pemerintah daerah Rp 100.000. Satu bulan pendapatan saya sekitar Rp 600.000. Sedangkan, guru pegawai negeri dengan masa kerja seperti saya, pendapatannya bisa mencapai sekitar Rp 2 juta. "Beban mengajar dan peserta didiknya sama," ujar Ujang yang sudah empat kali ikut berunjuk rasa. Dia berharap pemerintah serius menangani permasalahan ini.

Pasal 6 (2) Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menyatakan, bahwa tenaga honorer non-APBN dan APBD baru bisa diangkat menjadi PNS apabila tenaga honorer APBN/APBD telah diangkat menjadi PNS sebelum tahun 2009. Apabila masih terdapat tenaga honorer yang dibiayai APBN dan APBD belum diangkat menjadi CPNS sampai Tahun Anggaran 2009, maka tenaga honorer yang tidak dibiayai APBN dan APBD tidak dapat diangkat sebagai CPNS.

Juru bicara Aliansi Nasional Honorer Sekolah Negeri, Alip Purnomo mengatakan, para guru yang mendatangi gedung MPR/DPR tersebut ialah guru honorer dengan bayaran dari sekolah negeri tempat mengajar atau non-APBD/APBN.





Indira Permanasari S

sumber:www.kompas.com

Sister School untuk Bantu Sekolah Swasta

Rabu, 18 Juni 2008 | 00:13 WIB

YOGYAKARTA, RABU - Menyikapi penurunan angka kelulusan ujian nasional SMA/SMK/MA di sekolah swasta, Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto akan mencoba konsep sister school. Dengan konsep ini, guru sekolah negeri diperbantukan mengajar ke sekolah swasta.

"Guru-guru di sekolah negeri yang terbaik akan kami minta membantu mengajar ke sekolah-sekolah swasta yang tingkat kelulusan UN rendah," ujar Herry, Selasa (17/6).

Konsep ini bukan dimaksudkan pihaknya tak percaya kemampuan guru sekolah swasta. Namun, tidak ada salahnya kalau guru sekolah negeri yang terbaik mau memberi nuansa dan wawasan baru metode pembelajaran bagi murid dan guru sekolah swasta.

Syamsury, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mengatakan, tak ada paksaan terhadap sekolah swasta. Mereka juga tak perlu keluar biaya karena sister school akan diselenggarakan memakai APBD.

Kepala SMK Piri 1 Yogyakarta, Sudaryanta mengingatkan agar konsep sister school harus dijalankan hati-hati. Bisa terjadi kecemburuan dari guru-guru sekolah swasta ketika ada guru negeri masuk ikut mengajar. Lagipula belum tentu kualitas guru swasta di bawah guru negeri.

"Mengajar di swasta berbeda sebab input siswa tak sebagus sekolah negeri," katanya. Di SMK Piri 1, tercatat 100 siswa dari 291 siswa gagal UN. Padahal, hasil sejumlah try out sebenarnya sudah bagus.

Untuk DIY, angka kelulusan SMA di Kota Yogyakarta hanya mencapai 92,85 persen, atau berada pada peringkat keempat di bawah Bantul (97,19 persen), Sleman (94,90), Kulon Progo (94,02 persen).

Angka kelulusan SMK sebesar 82,52 persen, bahkan paling rendah dibandingkan Bantul (92,62 persen), Gunung Kidul (87,08 persen), Sleman (85,34 persen), dan Kulon Progo (84,35 persen). (PRA/DYA)

sumber:www.kompas.com

Trauma, Murid dan Guru Enggan Gunakan Sekolah Ambruk

Senin, 6 April 2009 | 21:41 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ingki Rinaldi

JOMBANG, KOMPAS.com — Murid-murid dan para guru SDN Pulosari I, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Senin (6/4), trauma menggunakan bangunan sekolah mereka. Pasalnya, bangunan sekolah yang terdiri atas tujuh ruangan itu terancam ambruk sewaktu-waktu.

Tiga orang pelajar kelas VI sekolah itu, masing-masing Ardilinidestyaning Arum, Rizki Dwi Rachmasari, dan Lucke Yuansyah Arif Tyas Putri mengaku selalu didera rasa khawatir saat belajar. "Soalnya kami pernah kejatuhan (eternit) saat kelas V dulu. Kena kepala, bahu, dan tangan," kata Arum.

Ruang kelas VI yang ditempati kini, baru dua bulan lalu saja patah dan nyaris ambruk di bagian penampang atap depannya. Kondisinya kini sangat berbahaya karena bisa saja seaktu-waktu rubuh.

"Saya juga khawatir kalau mengajar, apalagi waktu (cuaca) mendung dan ada angin. Takut kalau sewaktu-waktu ambrol," kata Suprihatin, guru kelas VI sekolah tersebut.

sumber:www.kompas.com

Sekolah Gratis Berdampak Pada Guru

Senin, 13 April 2009 | 09:32 WIB
JAKARTA - KOMPAS.com - Sebagian pendapatan guru selama ini ditopang oleh iuran yang dihimpun dari masyarakat.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, Minggu (12/4), permasalahan terutama terjadi pada guru-guru yang bertugas di perkotaan. Di dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) perkotaan sekitar 60 persen untuk insentif tenaga pendidik, termasuk untuk instruktur ekstrakurikuler.

Ketika sekolah tidak diizinkan untuk memungut iuran dari masyarakat seiring dengan adanya bantuan operasional sekolah (BOS) dan pendidikan gratis, seluruh aktivitas di sekolah mengandalkan BOS. Padahal, dana BOS tidak memadai untuk operasional sekolah di perkotaan. ”Insentif tambahan dari iuran masyarakat sudah dihapuskan. Banyak guru yang kemudian mengeluh, termasuk ke FGII,” katanya.

Guru di SMPN 7 Kota Bandung, Koswara, mengatakan, di sekolah tempatnya mengajar guru kehilangan insentif tambahan itu sejak Januari 2009.

”Insentif tambahan dari orangtua siswa sudah dihapuskan. Sebelumnya, kami mendapat sekitar Rp 3,3 juta per tahun atau Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per bulan,” ujarnya.

Sekarang insentif dari BOS kalau hanya ada kegiatan, seperti mengawas ulangan umum yang honornya sekitar Rp 10.000.

”Untuk insentif berdasarkan kinerja, belum tentu tiap bulan ada kegiatan besar,” ujar Koswara.

Sangat berarti

Bagi para guru, insentif-insentif tambahan itu sangat berarti karena belum semua guru sejahtera. Sertifikasi guru pun masih bersifat gradual, menggunakan kuota, dan penuh dengan berbagai persyaratan sehingga tidak semua guru telah mengikutinya.

”Guru yang sudah lolos juga tidak bisa mengandalkan tunjangan sertifikasi itu karena pembayarannya oleh pemerintah belum stabil,” kataya.

Iwan Hermawan menambahkan, persoalannya bukan sekolah gratis yang memang menguntungkan masyarakat, tetapi menjadi masalah ketika insentif tambahan dari masyarakat kepada guru itu kemudian menghilang dan tidak ada gantinya.

Situasi ini juga menempatkan kepala sekolah dalam posisi terjepit. Di satu sisi kepala sekolah ingin membantu dan meningkatkan motivasi guru lewat insentif dan di sisi lain anggaran tidak memadai.

Iwan menambahkan, sebenarnya pemerintah kota dan kabupaten dapat berperan besar menutup kekurangan yang diakibatkan tidak adanya insentif masyarakat tersebut. (Kompas Cetak/INE)


Sumber : Kompas Cetak

Belajar di Rumah Beralas Terpal

Kamis, 17 April 2008 | 15:40 WIB

Oleh A Ponco Anggoro

Di teras rumah milik Lehar, 18 siswa SDN Gunungsari 2, Kasreman, Ngawi, duduk di atas terpal. Mereka menyimak Sukristiawati, sang guru. Kondisi yang jauh berbeda dengan ruang kelas mereka seakan tak mengurangi konsentrasi mereka belajar.

Heri Susanto (9), salah satu murid, Selasa (15/4), dengan cepat mengangkat lengan. Murid kelas dua itu kemudian menjawab dengan sempurna pertanyaan dari gurunya tentang apa saja yang termasuk dalam empat sehat lima sempurna.

Pertanyaan lain diajukan Sukristiawati kepada murid-muridnya. Pertanyaan itu dijawab sempurna pula oleh murid lainnya, Subyantoro (9). Jawaban-jawaban itu mereka tuliskan di buku tulis yang mereka bawa. Namun karena tak ada meja, mereka harus membungkuk saat menulisnya.

Heri dan Subyantoro termasuk murid berprestasi. Semester lalu, Heri memperoleh rangking tiga, sedangkan Subyantoro memperoleh rangking empat. Heri bercita-cita menjadi guru, sedangkan Subyantoro ingin menjadi dokter.

Namun, bagi Heri, Subyantoro, dan murid lainnya yang juga mempunyai cita-cita, tidaklah mudah mewujudkannya. Sekolah yang biasa mereka tempati belajar pekan lalu roboh bagian atapnya sehingga tidak bisa digunakan belajar. "Kami berharap sekolah kami bisa segera diperbaiki. Kalau belajar di sini (di teras rumah), kami tidak bisa konsentrasi, menulis juga menjadi sulit," tutur Heri.

Robohnya atap ruang kelas yang biasa dipakai kelas 1, 2, dan 3 itu disebabkan hujan deras dan angin kencang yang terjadi pada Senin (7/4) malam. Apalagi ditambah kondisi kelas yang tidak pernah direhabilitasi sejak dibangun tahun 1981.

Selalu ditolak

Pihak sekolah setiap tahun sudah sering mengajukan proposal rehabilitasi sekolah ke Dinas Pendidikan Ngawi. Namun, hanya penolakan yang mereka dapatkan. "Mungkin karena letak sekolah ini terpencil di dekat perbatasan Bojonegoro sehingga kurang diperhatikan," kata Wakil Kepala Sekolah SDN Gunungsari 2 Agus Prasetyo.

Akibat kejadian itu, murid kelas 2 terpaksa belajar di rumah gurunya, Lehar, yang dekat sekolah. Sementara kelas 1 dan 3 harus berbagi ruangan dengan kelas empat dan lima. Padahal, dua bulan lagi 96 murid sekolah itu harus menghadapi ujian untuk kenaikan kelas. "Paling sedikit butuh waktu tiga bulan untuk perbaikan," ujar Agus. Ia menambahkan, setelah kejadian sekolah roboh, pemerintah baru merencanakan untuk merehabilitasi sekolah.

Kepala Bidang Pendidikan dan Sarana Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi Harnu Sutomo berkilah, lambatnya perbaikan terhadap SDN Gunungsari 2 disebabkan keterbatasan dana. Dana yang ada tidak seimbang dengan jumlah sekolah rusak. "Apalagi rusaknya sekolah-sekolah itu berbarengan karena dibuat pada tahun yang sama sekitar tahun 1980," tambahnya.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Ngawi, jumlah ruangan kelas SD sampai SMA yang rusak berat pada tahun 2006 sebanyak 1.270 ruangan. Kelas yang rusak ringan dan berpotensi menjadi rusak berat 1.154 ruangan. Sementara dana pemerintah pusat, Pemprov Jatim, dan Pemkab Ngawi hanya bisa merehabilitasi 448 kelas yang rusak berat. Itu artinya akan semakin lama murid belajar di rumah, di atas terpal pula.

Anggoro, A Ponco

www.kompas.com

Sekolah Andalan Pembinaan Siswa Unggul

Rabu, 13 Agustus 2008 | 11:22 WIB

MAKASSAR, RABU - Bermunculannya siswa-siswa berprestasi di bidang sains di tingkat nasional dan internasional justru mengandalkan sekolah. Sayangnya, peran sekolah untuk menjaring dan membina siswa unggul ini belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat.

Di sejumlah provinsi, guru-guru di sekolah harus bekerja keras untuk menyiapkan siswa berkompetisi di tingkat nasional dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Padahal, pembinaan siswa yang mewakili provinsi itu sebenarnya perlu mendapat dukungan dari pemerintah kota/kabupaten dan provinsi, baik dari segi finansial maupun penyiapan dalam penguasaan materi sains untuk berkompetisi di tingkat nasional.

Eni Prihatini, guru SDN 2 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, di sela-sela pelaksanaan Olimpiade Sains (OSN) VII di Makassar, Rabu (13/8), mengatakan pembinaan siswa yang lolos seleksi di tingkat kota dan provinsi di daerahnya tetap mengandalkan guru dan sekolah. Guru di sekolah bekerjasama dengan orang tua memberikan pelajaran ekstra untuk kesiapan berkompetisi di OSN.

"Sekolah kami mulai menyeleksi siswa unggul dari kelas 4 SD. Mereka disiapkan sekolah sehingga bisa lolos di tingat kota lalu provinsi. Harapannya jika sudah sampai tahap ini, sekolah dibantu untuk meningkatkan pembinaan siswa. Tapi ya minim sekali.Di tingkat provinsi pembekalan untuk siswa cuma empat hari di Universitas Mataram," kata Eni.

Ali Ruslan, guru SDN Bukit Harun Lamandau, Kalimantan Tengah, mengatakan siswa dari daerah pedalaman disiapkan ke ajang kompetisi nasional ini dengan pembekalan yang disiapkan sekolah. Namun, guru bersemangat karena kesempatan terpilih di OSN akan membangkitkan semangat dan kepercayaan diri siswa dan sekolah."Ternyata siswa dari sekolah pedalaman di daerah transmigrasi bisa juga mewakili provinsi. Dengan pinjam kumpulan soal dari sekolah-sekolah lain, para guru berusaha maksimal menyiapkan siswa," kata Ali.

Di sekolah ini, misalnya, sarana praktik IPA hanya mengandalkan kit IPA dari pemerintah untuk sekolah-sekolah pada tahun 1996. Bahkan, banyak alat-alat yang rusak dan hilang. Untuk menyiapkan kemampuan bahasa inggris siswa karena ada sejumlah soal berbahasa Inggris, terpaksa dilakukan orangtua. Pasalnya, di sekolah ini tidak ada pelajaran Bahasa Inggris. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan sekolah dasar dan menengah di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Pemenuhan standar nasional pendidikan di setiap sekolah harus dipeneuhi walikota dan bupati setempat.

Dalam kaitannya dengan pembinaan siswa berpretasi, Bambang mengingatkan pemerintah daerah punya kewajiban untuk memberikan dukungan dan penghargaan demi kemajuan sumber daya manusia di daerhnya. "Keberhasilan siswa unggul di tingkat nasiolnal harus jadi kebanggaan sekolah dan daerah. Pembinaan dilakukan secara bersama-sama untuk kemajuan daerah di sana juga," kata Bambang. (ELN)

Ester Lince Napitupulu

sumber:www.kompas.com

Standar UASBN Rendah

Sekolah Ingin Semua Siswa Lulus
Jumat, 16 Mei 2008 | 00:24 WIB

Jakarta, kompas - Sekolah rata-rata menetapkan standar kelulusan yang rendah dalam pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN untuk tingkat sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Hal ini disebabkan pihak sekolah tidak ingin ada siswanya yang tidak lulus UASBN sehingga merusak reputasi sekolah.

Dalam pelaksanaan UASBN yang pertama kali ini, setiap sekolah memang diberikan keleluasaan menentukan standar kelulusan siswa-siswanya. Jika standar kelulusan tinggi, secara tidak langsung menunjukkan mutu lulusan sekolah bersangkutan. Namun, kenyataannya, banyak sekolah menetapkan standar kelulusan rendah, bahkan di bawah 3, untuk tiga mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA, agar semua siswanya lulus.

Berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari berbagai wilayah, Kamis (15/5), standar kelulusan rendah bukan hanya di sekolah dasar daerah terpencil, tetapi juga di kawasan perkotaan. ”Dengan sarana sekolah yang sangat terbatas, sekolah tidak berani menetapkan standar kelulusan tinggi, rata-rata berkisar 2 hingga 2,28,” kata Sudarman, pengawas sekolah di Kecamatan Cibinong, salah satu daerah di pinggiran Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. ”Yang penting siswa lulus sehingga bisa melanjutkan ke SMP,” ujarnya.

Turman, Kepala SDN Nanggung, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, mengatakan, sekolah menetapkan nilai minimal lulus untuk Bahasa Indonesia 3, IPA 3, dan Matematika 2,5. Penetapan nilai minimal di sekolah rendah karena disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga siswa yang umumnya tidak sanggup membayar biaya les di luar yang disediakan sekolah.

Omang Adiwijaya, Kepala SDN Percontohan Lubang Buaya 12 Jakarta, mengatakan, sekolah menetapkan nilai minimal lulus UASBN Bahasa Indonesia 3, Matematika 2, dan IPA 3. ”Lebih baik standar lulusnya rendah, tetapi nilai yang dicapai para siswa bisa di atas standar itu,” kata Omang.

Rukmini, Kepala SDN Percontohan Kelapa Dua Wetan 01 Jakarta, menetapkan nilai minimal lulus Bahasa Indonesia 4, Matematika 3, dan IPA 4 dengan mempertimbangkan kemampuan siswa.

Direktur Pendidikan TK/SD Depdiknas Mudjito AK mengatakan, sekolah menetapkan standar kelulusan rendah karena UASBN baru pertama kalinya dilakukan sehingga kemampuan siswa masih diduga-duga.

”Meski kelulusan siswa SD terkesan lebih mudah, tidak berarti sekolah bisa sembarangan menentukan standar kelulusan. Sebab, besarnya standar kelulusan ini bisa dijadikan bahan
penilaian masyarakat terhadap mutu sekolah yang bersangkutan,” kata Mudjito. (ELN/INE)



sumber:www.kompas.com

Dikelilingi Cerobong Asap, SDN Bambe Dinominasikan sebagai Sekolah Sehat

Rabu, 17 Desember 2008 | 15:08 WIB

GRESIK, RABU — SD Negeri Bambe III, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik, masuk nominasi lomba lingkungan sekolah sehat tingkat Provinsi Jawa Timur.

Sekolah ini akan bersaing dengan 18 sekolah lain dari kabupaten/kota se-Jawa Timur. Lokasi sekolah itu sendiri dikelilingi pabrik dengan ratusan cerobong asap pembuang polusi udara.

Ketua Tim Penilai Lomba Sekolah Sehat 2008 Susanto, Rabu (17/12), mengatakan, di Gresik ini sudah ada embrio karena pada 1991 SD Negeri Petrokimia berhasil meraih juara I. Kriteria penilaian lomba sekolah sehat meliputi 30 persen penilaian di sekretariat, yaitu sekretariat UKS tingkat kabupaten, kecamatan, dan sekretariat UKS sekolah yang bersangkutan. Penilaian di lokasi sekolah yang bersangkutan menyumbang 70 persen.

Kategori sekolah sehat adalah sarana prasarananya sehat, termasuk sarana belajar dan sanitasi. Yang penting lagi perilaku penghuni sekolah sehat, setidaknya sebelum berangkat sekolah sudah sarapan ujar Susanto.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik saat menerima rombongan tim penilai mengatakan, di bidang lingkungan hidup Gresik meraih Adipura dan Adiwiyata. Dua sekolah di Gresik termasuk di antara 10 sekolah Adiwiyata tingkat Nasional. Program sekolah sehat ini selaras dengan program yang dicanangkan Pemkab Gresik, yakni peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Upaya ini mendukung terciptanya visi Gresik sehat 2010, kata Khuluq.

Adi Sucipto

sumber:www.kompas.com

Belajar di Rumah, Kebun, Museum? Boleh, Kok! (1)

Rabu, 25 Maret 2009 | 12:12 WIB
Laporan wartawan NOVA Henry Ismono

Homeschooling (HS) atau sekolah rumah merupakan alternatif pendidikan yang semakin diminati. Apa dan bagaimana persisnya?

Suatu hari, seorang ibu menghubungi Yayah Komariah, SPd (40), pendiri sekaligus Ketua Komunitas Sekolah Rumah Berkemas (Berbasis Keluarga dan Masyarakat). Si ibu menceritakan problem hidupnya, termasuk derita anaknya yang duduk di bangku SMA. "Anak saya tidak berani sekolah," katanya.

Rupanya, gara-gara masalah bisnis ayahnya, si anak jadi takut sekolah. "Bapaknya diancam lawan bisnisnya. Anak-istrinya juga diteror. Di sekolah, si anak tadi ditongkrongi. Jelas, si anak ketakutan," tutur Yayah mengisahkan kembali penuturan ibu tadi.

Belakangan, si anak berhenti sekolah. "Padahal sudah akan menghadapi UAN (Ujian Akhir Nasional). Bingunglah ibunya. Apalagi, nilainya selalu bagus. Akhirnya ia memutuskan ikut HS dan berhasil menamatkan SMA lewat ujian paket C."

Nyaman Belajar
Cerita yang diutarakan istri Margono ini, hanyalah sebagian kecil dari kisah para siswa yang bergabung di komunitas Berkemas. "Sekarang sudah ada 300 lebih siswa, mulai dari TK sampai SMA. Masalah yang mereka hadapi macam-macam. Ada yang semasa di sekolah formal jadi korban kekerasan teman-temannya, ada pula yang trauma dengan sikap gurunya."

Belakangan ini, lanjut Yayah, banyak juga anak berkebutuhan khusus yang jadi muridnya. Bahkan, "Ada siswa kelas 4 SD yang sangat pintar. Lebih pintar dari gurunya. Dia kecewa dan mogok sekolah karena jawabannya disalahkan gurunya, padahal jawaban dia betul. Anak itu tahu karena dia pernah membaca buku milik ibunya yang seorang dosen."

Begitulah, bila sekolah formal tidak lagi bisa menampung persoalan anak-anak, HS bisa dijadikan alternatif pilihan. "Lewat HS, si anak lebih merasa nyaman belajar."

Itu pula, alasan Yayah mendirikan Berkemas. "Saya prihatin pada anak-anak yang punya aneka masalah seperti tadi. Sebelumnya, sudah 10 tahun saya jadi guru SD dengan waktu mengajar dari pagi sampai sore. Selama mengajar, saya melihat, banyak sekolah yang hanya bagus aksesorinya. Maksudnya, sarana dan prasarana memang ditingkatkan, namun cara mengajar dan mendidiknya tidak meningkat. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat pendidikan terbaik. Padahal, buat saya, siapa pun mestinya bisa mendapatkan yang terbaik," jelas Yayah.

Tahun 2004, Yayah mengundurkan diri dan mewujudkan impiannya memberi pendidikan pada siapa saja, tanpa kecuali. "Buat saya, tanpa gedung pun, kita bisa memulai pendidikan. Kelas tidak harus di dalam ruangan. Di mana saja, bisa, kok, belajar."

Berbekal pengalamannya ia meyakini, dari tahun ke tahun materi pelajaran sebenarnya ada benang merahnya. Hanya saja, tiap tahun buku pelajaran sekolah ganti terus. Itu sebabnya, "Untuk materi pelajaran, saya menggunakan buku pelajaran bekas. Saya pun memulai pendidikan di luar sekolah formal. Waktu itu, saya belum dengar istilah HS.


sumber:www.kompas.com

Nilai UN Jadi Dasar Seleksi Khusus

Selasa, 22 April 2008 | 21:12 WIB



BANDUNG, SELASA - Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat memutuskan proses seleksi jalur khusus rintisan sekolah bertaraf internasional atau SBI dilakukan bersamaan dengan jalur reguler. Nilai ujian nasional menjadi satu-satunya acuan dasar penentunya sehingga seleksi itu harus dilakukan setelah pelaksanaan UN sekolah menengah pertama.

Demikian ditegaskan Kepala Sub Dinas Pendidikan Menengah Tinggi Dinas Pendidikan Syarif Hidayat, dihubungi Kompas , Selasa (22/4). Ia menegaskan, keputusan ini dapat mengakhiri kesimpangsiuran soal perbedaan standar seleksi calon siswa rintisan SBI yang di beberapa daerah sempat menimbulkan persoalan.

Waktunya disamakan dengan masa penerimaan reguler. Hasil ujian nasional jadi patokannya. Bedanya, khusus kelas SBI, diterapkan nilai ( passing grade ) yang tentunya lebih tinggi dari reguler untuk tiga kelompok mata pelajaran, yaitu IPA, Bahasa Inggris, dan Matematika, paparnya. Sehingga, yang muncul nanti adalah satu standar.

Mengomentari isu yang berkembang di media, Syarif menegaskan, seleksi akan tetap membuka peluang bagi siswa kurang mampu. Asalkan, memenuhi syarat akademis seperti yang ditentukan. "Jadi, ada program beasiswa yang alokasi besarannya 10 persen dari dana block grant senilai Rp 250 juta. Sekolah wajib mengakomodir ini," ujarnya.

Beasiswa itu khususnya untuk membiaya sumbangan pengembangan pendidikan (SPP). Satu-satunya yang dibebankan ke siswa adalah dana sumbangan pendidikan (DSP) yang dibayarkan sekali saja saat dinyatakan diterima. Dana block grant itu diberikan ke tiap-tiap rintisan SBI per tahun. Sedikitnya ada 59 rintisan SBI di Jabar saat ini.

Keberhasilan sekolah mengembangkan rintisan SBI menjadi betul-betul SBI yang tulen nantinya, ucap Syarif, sangatlah bergantung pada potensi sumber daya manusia dan sarana prasarana sekolah. Jadi, faktor kesiapannya. Menurutnya, akan lebih baik sekolah itu mengembangkan rintisan SBI secara bertahap. Mulai dari kelas (by class), baru secara intitusi ( by subject) beberapa tahun kemudian. Di SMK rintisan SBI, saat ini seluruhnya sudah mengarah kepada by subject.

Secara terpisah, Kepala SMAN 3 Kota Bandung Encang Iskandar menuturkan, pihaknya akan bersabar untuk melakukan seleksi khusus calon siswa. Kami menunggu aturan dari Provinsi dan Peraturan Wali Kota tentang PSB (Penerimaan Siswa Baru). "Jadi pastinya setelah ujian nasional SMP, dilakukan bersama-sama dengan jalur reguler serta akselerasi," tuturnya.

Menurutnya, SMAN 3 Kota Bandung belum menentukan apakah akan mengikuti pengembangan secara by subject atau by class . Masing-masing ada kekurangan dan juga kelebihannya. By class misalnya, pengembangan lebih mudah karena bertahap. Namun, diakuinya, ini bisa menciptakan segregasi sosial. Karena, ada pengelompokkan berbeda pada siswa. Di lain pihak, secara by subject meng hilangkan segregasi namun butuh biaya dan persiapan luar biasa besar.



Yulvianus Harjono

sumber:www.kompas.com

Didik Anak Sesuai Potensi

Selasa, 17 Maret 2009 | 03:13 WIB

KOMPAS.com - Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran.

Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas.

Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.

SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya.

Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.

”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.

Tetap konsisten

Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.

Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus.

Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.

Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa.

Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.

Lima bidang pelajaran

Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler.

Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.

Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar.

Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.

Anak berbakat

Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya.

Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.

Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas.

Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.

Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.

Ester Lince Napitupulu


Sumber : Kompas Cetak

Awas! UN Penuh Kebocoran

Selasa, 15 April 2008 | 06:27 WIB

JAKARTA, SELASA-Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Mei 2007 dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Desember 2007 dalam sidang citizen law suit (CLS) menilai pemerintah lalai dalam menyelenggarakan pendidikan dan melindungi hak anak. Pemerintah diminta meninjau ulang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), termasuk ujian nasional (UN).

”Seharusnya, sebelum UN (dilaksanakan—Red), pemerintah memenuhi dulu tuntutan masyarakat dan putusan pengadilan,” kata Koordinator Federasi Guru Independen Indonesia, Suparman, Senin (14/4).

Menurut dia, segi kompetensi, sarana, prasarana, dan profesionalisme guru belum memadai. Bahkan, siswa pun masih kesulitan mengakses sarana belajar, seperti buku sekolah dan informasi melalui internet. ”Pemerintah harus memfasilitasi agar guru dan siswa berkualitas,” katanya.

Menurut Suparman, seharusnya pemerintah lapang dada menerima putusan pengadilan dan melaksanakannya. ”Putusan pengadilan ini menyangkut nasib pendidikan ke depan. Pemerintah harus duduk bersama dengan masyarakat dalam menyelesaikan kebijakan pendidikan nasional,” katanya.

Selain itu, kata Suparman, pemerintah sebaiknya juga menyikapi putusan pengadilan itu dengan mengubah kebijakan nasional bahwa UN satu-satunya penentu kelulusan siswa. ”UN sebaiknya dilakukan hanya untuk pemetaan pendidikan, bukan penentu kelulusan,” tuturnya.

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Gatot, yang menjadi kuasa hukum masyarakat korban UN dalam sidang CLS mengatakan, pada 6 Desember 2007 putusan Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan PN Jakpus bahwa pemerintah lalai dan harus meninjau ulang sisdiknas.

Gatot mengatakan, selama pemerintah tidak melakukan perbaikan dalam bidang pendidikan dan mengakui fakta-fakta yang terjadi tentang korupsi, kebocoran soal, dan stres anak-anak, maka selamanya pendidikan di Indonesia berantakan.

”Sangat disayangkan, pemerintah ngotot menjalankan UN. Dengan model UN sebagai penentu kelulusan, maka kesempatan anak-anak melanjutkan sekolah menjadi terhalang. UN ini penuh kebocoran dan kekecewaan, serta mengabaikan hak-hak anak,” ucapnya.

UJIAN NASIONAL SLTA
Pelaksanaan : 22-24 April 2008
Nilai terendah : 4,25
Rata-rata nilai lulus : 5,25

MATA UJIAN
SMA IPA : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia.
SMA IPS : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sosiologi, Ekonomi, Matematika, dan Geografi.
SMK : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA (teori produktif).
(Warta Kota/Tan)

220 Sekolah Swasta Belum Terapkan Jam Masuk 06.30

Jumat, 27 Februari 2009 | 16:51 WIB

JAKARTA, JUMAT — Sebanyak 220 sekolah swasta (SD, SMP, SMA) hingga hari ini belum menerapkan jam masuk sekolah pukul 06.30. Mereka tersebar di lima wilayah DKI Jakarta, yakni Jakpus 27, Jakut 40, Jakbar 34, Jaksel 78, dan Jaktim 41.

Demikian hasil evaluasi 13 Februari yang disampaikan Ketua Persatuan Komite Sekolah DKI Jakarta, Bambang Supomo, saat memberikan pemaparannya di Gedung Balai Pelatihan Pendidikan Kejuruan (BPPK) di Jakarta Pusat, Jumat, (27/2)

Menurut Agus Budiman, Sekjen Dewan Pendidikan DKI, alasan sekolah swasta tidak menerapkan kebijakan jam masuk sekolah pukul 06.30 karena menurut mereka peraturan yang ada belum mampu menuntaskan kemacetan.

"Karena keraguan ini, alasan pemda memajukan sekolah, ditolak," katanya. "Memang awalnya dapat mengatasi kemacetan, tapi itu pun sesaat. Semakin ke sini diamati hanya menggeser kemacetan dari pukul 7 menjadi 5 subuh," tambah Agus.

Alasan kedua, belum siapnya orangtua siswa menyiapkan anak-anaknya untuk bangun pagi. Agus mengingatkan, untuk kebijakan seperti itu seharusnya diikuti penambahan sarana prasarana, seperti penambahan ruas jalan dan juga bus sekolah.

"Sarana prasarana plus jalan, kalau bisa kebutuhan konsumsi pemerintah wajib memenuhi. Kebijakan itu kan jalan kalau didukung sarana prasarana," paparnya.

C2-09

sumber:www.kompas.com

Jaring Siswa Miskin Beprestasi Sejak Awal

Rabu, 2 Juli 2008 | 20:51 WIB

JAKARTA, RABU- Dalam pelaksanaan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri atau SNMPTN yang dilaksanakan pada Rabu (2/7) hingga Kamis besok, pemerintah menyediakan bantuan pembelian formulir pendaftaran dan biaya mengikuti SNMPTN bagi 16.000 lulusan SMA sederajat yang berasal dari keluarga tidak mampu. Namun, peluang ini hanya dimanfaatkan 5.000 lulusan.

Padahal, dari sebanyak 2.000 peserta yang lulus SNMPTN akan diberi beasiswa masuk PTN senilai Rp 5 juta untuk tahun pertama kuliah di PTN pilihan mereka. Selanjutnya, mereka bisa mendapatkan beasiswa yang dialokasikan pemerintah untuk mahasiswa miskin.

”Untuk tahun depan, seleksi siswa tidak mampu yang berprestasi itu akan diusahakan dimulai dari kelas 1 atau 2. Ini supaya memacu semangat siswa miskin itu untuk tetap berprestasi dan memberi kepastian ada peluaang kuliah di PTN pilihan mereka dengan beasiswa dari pemerintah,” kata Fasli.Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Pelaksanaan SNMPTN pertama ini diikuti sekitar 390.000 pesertayang bersaing memperebutkan sekitar 82.000 kursi yang dialokasikan 57 perguruan tinggi negeri yang dibagi dalam tiga wilayah. Wilayah Tengah meliputi Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; Wilayah Timur meliputi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua, serta Wilayah Barat meliputi Sumatera dan Kalimantan.

Pengumuman hasil SNMPTN dilaksankan pada 1 Agustus melalui media massa dan website www.snmptn.ac.id.

ELN

sumber:www.kompas.com

Yuk, Belajar Bahasa Inggris Melalui Lingkungan

Senin, 13 April 2009 | 09:25 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Di benak sebagian para siswa masih tertanam paradigma lama yang menganggap bahwa kesuksesan belajar Bahasa Inggris adalah karena bakat yang dimiliki. Anggapan ini mendorong para siswa enggan belajar Bahasa Inggris. Mereka cenderung bersikap lebih cepat putus asa dan menyerah setiap menemui kesulitan dalam belajar atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.

Belajar Bahasa Inggris mulanya merupakan kegiatan belajar yang dilakukan di dalam ruangan (indoor learning). Namun sekarang, belajar Bahasa Inggris dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan menggunakan media apa pun. Di samping pelajaran yang diterima di dalam kelas, siswa dapat belajar Bahasa Inggris di tempat- tempat kursus dan lembaga pendidikan nonsekolah lainnya.

Fenomena ini tentunya mendorong para guru dan orangtua untuk memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia sebagai media belajar Bahasa Inggris secara menyenangkan. Hal ini tentunya harus dibarengi dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi dari siswanya sendiri untuk belajar Bahasa Inggris secara sungguh-sungguh.

Berpikir kreatif

Selain memanfaatkan tempat-tempat kursus yang semakin bertebaran, diharapkan para siswa dan pihak-pihak yang terkait, seperti orangtua dan guru, mampu berpikir kreatif dengan memanfaatkan lingkungan yang ada di sekitar, terutama bagi para siswa yang merupakan subyek pembelajaran. Siswa hendaknya dapat bersikap aktif dalam belajar Bahasa Inggris dan tak hanya mengandalkan materi yang diberikan guru di sekolah.

Sebagai contoh, setiap siswa pasti mempunyai televisi, radio, tape recorder, dan telepon genggam. Lantas terbesit pertanyaan di benak kita, bagaimana barang-barang itu dapat digunakan untuk belajar Bahasa Inggris?

Hampir setiap siswa pasti melihat tayangan televisi setiap harinya. Namun hendaknya siswa dapat bersikap cerdas dalam memilih tayangan yang akan dilihat. Siswa dapat memilih acara dengan sajian bahasa Inggris. Ini bukan berarti kita dilarang melihat acara lain dan bukan berarti juga kita tidak cinta terhadap Bahasa Indonesia.

Kemudian bagaimana cara kita belajar dengan melihat televisi? Kita dapat mengasah kemampuan mendengar (listening skill) dengan mendengarkan percakapan yang ada dalam film-film barat (western movie).

Sembari mendengarkan percakapan bahasa Inggris, kita dapat mencatat kata-kata baru yang belum pernah kita dengar ataupun kita mengerti artinya sebelumnya. Secara tidak langsung kita juga dapat menambah perbendaharaan kata-kata baru (new vocabularies).

Televisi musik

Bila tidak suka melihat western movie, bagi para pelajar remaja dapat melihat music television (MTV). Siswa dapat belajar menirukan kata-kata yang diucapkan oleh sang VJ (video jockey) yang dapat dipastikan semuanya fasih dalam berbahasa Inggris. Siswa juga dapat belajar tentang gambit yang digunakan, bagaimana membuka (opening) dan menutup (closing) suatu acara.

Radio dan tape recorder juga dapat dimanfaatkan untuk belajar bahasa Inggris. Siswa dapat memilih program-program yang ada di radio yang menggunakan bahasa Inggris sekaligus berpartisipasi aktif dengan menelepon atau dengan mengirim pesan singkat tentunya dengan menggunakan bahasa Inggris.

Siswa dapat belajar banyak dari seorang DJ (disc jockey) di radio tersebut. Siswa dapat belajar bagaimana cara menyapa orang lain serta bagaimana membuka dan menutup suatu percakapan.

Bagi para siswa yang gemar mendengarkan lagu-lagu barat (western music), belajarlah untuk tidak hanya menjadi pendengar pasif. Selain menikmati musik yang kita dengarkan, alangkah lebih bijaknya jika kita mencari tahu apa arti dari lirik lagu yang kita dengar. Secara tidak langsung siswa akan diajak untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan penguasaan terhadap kosakata baru.

Seperti halnya televisi, radio, dan tape recorder, telepon genggam (HP) juga dapat digunakan sebagai sarana untuk belajar bahasa Inggris. Kita dapat mengatur sedemikian rupa sehingga perintah-perintah dan layanan dalam HP menggunakan bahasa Inggris.

Selain itu, kita dapat mengirim pesan singkat (SMS) ke sesama teman dengan menggunakan bahasa Inggris. Cara-cara yang telah disampaikan di atas memang terlihat sepele, tetapi hanya segelintir orang yang bersedia mempraktikkannya.

Jika secara kebetulan siswa bertempat tinggal di sekitar objek wisata, belajar bahasa Inggris dapat dilakukan dengan lebih atraktif. Siswa dapat belajar bahasa Inggris langsung dengan para wisatawan asing yang berkunjung (native speaker).

Siswa diharapkan berani untuk terlibat percakapan secara langsung dengan turis atau paling tidak dapat sekadar menyapa dengan menggunakan ekspresi dan pengucapan yang benar. Maka tidaklah mengherankan jika sebagian anak-anak di Bali atau Yogyakarta sudah fasih berbahasa Inggris.

Bermain sambil belajar

Lingkungan juga menyediakan sarana untuk belajar bahasa Inggris bagi anak-anak. Karakteristik utama anak-anak adalah bermain sambil belajar. Para orangtua dan guru dapat mengajak putra putri dan siswanya untuk mengunjungi taman kota, kebun binatang, dan bahkan mengajak mereka untuk sekadar duduk- duduk di taman rumah. Para orangtua dan guru mengenalkan secara langsung benda-benda yang ada di sekitar dengan menggunakan bahasa Inggris.

Sebagian orangtua mungkin merasa khawatir karena melatih putra putri mereka untuk belajar berbagai macam bahasa secara bersamaan. Pada dasarnya anak-anak tidak akan merasa terbebani dengan berbagai macam bahasa yang diajarkan kepada mereka.

Secara alamiah anak-anak mempunyai alat untuk belajar bahasa secara bersamaan yang disebut sebagai language acquisition device (LAD) yang merupakan anugerah Tuhan.

Justru sebaliknya, pembelajaran berbagai macam bahasa dalam waktu yang bersamaan sedini mungkin adalah langkah yang efektif. Selain LAD yang dimiliki anak-anak adalah faktor usia juga sangat mendukung. Pada usia dini, daya tangkap anak-anak terhadap materi yang diberikan akan lebih baik.

Dengan demikian, banyak cara yang dapat digunakan untuk belajar bahasa Inggris secara menyenangkan. Dengan adanya sikap cerdas dan pikiran yang kreatif, siswa diharapkan dapat termotivasi untuk lebih tekun belajar Bahasa Inggris dan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa kesuksesan dalam belajar bahasa Inggris bukan karena bakat (talent), tetapi karena kemauan (willingness).





Sumber: Kompas Cetak

Penulis: Erna Adita Kusumawati, S. PD/Pengajar Bahasa Inggris Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa InggrisUniversitas Sebelas Maret, Solo


Sumber : Kompas Cetak
Share on Facebook
A A A
Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Posting komentar anda
Nama
Email
Komentar
Security Code
Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak untuk tidak menampilkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA.

* Berita Terkini
* Terpopuler

* Sekolah Bahasa Inggris di Luar Negeri?
* Yuk, Belajar Bahasa Inggris Melalui Lingku...
* Tips Ringan Studi di Jerman
* Kian Lebar, Peluang Belajar di Negeri Oran...
* Wirausaha, Mulailah Sejak Anda Kuliah!
* Lulus Kuliah Kok Gundah?

* Tips Ringan Studi di Jerman
* Kian Lebar, Peluang Belajar di Negeri Oran...
* Yuk, Belajar Bahasa Inggris Melalui Lingku...
* Tips Ringan Studi ke Jerman

359