Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Inklusif, Alternatif Pendampingan Anak

Sabtu, 7 Maret 2009 | 23:13 WIB

YOGYAKARTA, SABTU - Pendidikan inklusif yang memasukkan unsur keragaman, nilai, budaya, sikap, bahasa bisa menjadi alternatif bagi pendampingan anak sebagai manusia yang seutuhnya.

"Pendidikan inklusif memberikan peran kepada sekolah sebagai laboratorium kehidupan bagi anak," kata praktisi pendidikan Elga Andriana M.eD dalam seminar Kedudukan Anak dalam Masyarakat, di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, dalam pendidikan inklusif, anak tidak dihindarkan dari pendidikan di luar pendidikan akademis, tetapi didekatkan dengan keragaman dan masalah.

Cara-cara yang ditempuh melalui pembelajaran yang diberikan, lanjut dia, memungkinkan anak menggali, lingkungan fisik yang ditata memungkinkan interaksi, sedang komunikasi yang dibentuk mengarah pada dialog.

"Tetapi, pemaknaan inklusi masih kerap diartikan secara sempit, yaitu dipahami sebagai pendidikan yang mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan berkebutuhan khusus," katanya.

Oleh karena itu, katanya, sekolah memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat sehingga anak mampu memaknai segi kehidupan yang penuh masalah dan perbedaan.

"Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru dan orang tua diharapkan menjadi warga yang reflektif," ungkapnya karena anak memiliki sifat mudah dimasuki materi-materi baik yang bersifat obyektif atau subyektif.

Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)Magdalena Sitorus, menyatakan bahwa hak-hak anak harus mendapat jaminan pemenuhan, yang meliputi hak sipil, hak pendidikan, hak kesehatan, keluarga dan pengasuhan serta perlindungan khusus.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.


ABD

sumber:www.kompas.com

Menyikapi Pesona Sekolah Unggulan

Jumat, 2 Mei 2008 | 21:12 WIB

Oleh: Moh Muhibbin

Fenomena sekolah unggulan mulai bertebaran di tengah masyarakat mulai ibu kota kabupaten/kota hingga kecamatan. Sekolah-sekolah ini bertarif mahal dan dikampanyekan pengelolanya akan menjanjikan serta menjamin masa depan anak didik.

Salah satu selebaran yang diedarkan sekolah unggulan ini berbunyi "bergabunglah dengan sekolah yang tidak jual mimpi", "masukkan anak anda ke sekolah ini, jika ingin menjadi profesional", atau "saatnya orangtua tidak meninggalkan kader lemah di masa depan". Membaca selebaran-selebaran semacam itu, di satu sisi dapat ditangkap isyarat bahwa pengelola pendidikan rupanya semakin rajin meramu model sekolah yang dikalkulasi akan mampu merangsang dan menyedot konsumen sebanyak-banyaknya, khususnya konsumen pendidikan yang berasal dari kalangan orangtua atau keluarga berduit.

Berapa pun banyaknya uang yang dikeluarkan tidak akan menjadi perhitungan utama karena yang diutamakan adalah kepuasan. Pernyataan tersebut menunjukkan sekolah berlabel unggulan yang dijual sebagian pengelola pendidikan sebenarnya masih layak dipertanyakan kesejatian keunggulannya. Bukan tidak mungkin, apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya.

Tampaknya gejala sekolah unggulan yang dijual ke pasar orangtua atau keluarga berduit cenderung mengikuti dan mendikte konsumen yang berburu status sosial. Sekolah dibangun bukan mengikuti dasar-dasar moral-filosofi yang dibutuhkan anak didik untuk membentuk kepribadian sehingga menjadi pribadi unggul, namun lebih dominan mengikuti irama kepentingan pembenaran ambisi orangtuanya.

Ada kisah, misalnya, salah satu sekolah di Jatim yang telah mengemas dirinya menjadi sekolah unggulan dengan tema jual ke pasar sebagai sekolah unggulan. Dalam penawaran kepada orangtua murid, sistem pembelajaran di sekolah model ini dilaksanakan dengan sistem anak didik diwajibkan mengikuti rule of game yang digariskan sekolah hingga sore (pukul 17.00). Sayangnya, dalam beberapa hari, sekolah ini tidak menjalankan aturan main yang sudah dijual ke pasar.

Akibat wanprestasi ini, para orangtua murid memprotesnya. Alasannya, ini merugikan anak-anak dan mereka. Pasalnya, mereka menyekolahkan anak di sekolah model ini dengan pertimbangan adaptasi jam kerjanya sama dengan berakhirnya jam sekolah anak. Karena anak sering dipulangkan lebih awal, pihak sekolah telah merugikan jam kerjanya. Ini berarti, secara ekonomi, sekolah telah menghadirkan masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Kasus tersebut menunjukkan ukuran unggulan yang dipakai sekolah maupun orangtua sebenarnya sudah tidak sama.

Dari pihak keluarga atau orangtua murid, sekolah unggulan diasumsikan sebagai lembaga pendidikan yang mampu menyelaraskan kepentingan anak didik dan kesibukan mereka.

Dalam kasus tersebut, di satu sisi model sekolah demikian barangkali akan menjadi obyek jual ke pasar yang mampu menyedot konsumen. Namun di sisi lain, pengelola pendidikan dan konsumen perlu diluruskan bahwa kesejatian pendidikan bukan pragmatisme, instanisme, otoritarianisme, atau menciptakan atmosfer edukatif yang "memenjara" anak, melainkan atmosfer yang menumbuhkan pencerdasan dan penceraham moral intelektual kepada anak didik.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran. Ini agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara.

Dalam dimensi yuridis tersebut ada kosakata "mengembangkan" potensi yang menggabungkan kognisi, afeksi, dan psikomotorik sehingga target pencapaian dalam setiap proses pembelajaran menekankan pada akumulasi nilai. Jika akumulasi nilai yang menjadi tolok ukur, standar keunggulan terletak pada kemampuan setiap penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan untuk mengantarkan anak didik menjadi manusia unggulan.

Makhluk dwidimensi

Ahli tafsir kenamaan, M Quraish Shihab (1992), juga menunjukkan substansi model pendidikan yang menekankan keunggulan manusia. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal serta jiwa). Pembinaan akal menghasilkan ilmu, pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika, serta pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat serta ilmu dan iman. Itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.

Dengan orientasi pendidikan itu, seharusnya atau idealnya model sekolah atau pendidikan unggulan bukan semata terletak pada keunggulan fasilitas, tetapi juga sistem demokratisasi edukasinya, yang dalam politik implementasinya mampu menumbuhkembangkan pribadi anak didik menjadi manusia istimewa secara kognisi, afeksi, dan psikomotorik.

Sekolah unggulan tidak terletak pada pesona kemampuan manajemen sekolah dalam mendulang keuntungan ekonomi berlaksa dari orangtua atau kelompok sosial elitisme, tetapi dari kemampuan menjembatani anak didik menjadi pribadi paripurna meski anak didik ini dari golongan akar rumput.

Ini artinya prinsip penyelenggaraan pendidikan (proses belajar- mengajar) yang bernapaskan egalitarian tidak bisa diabaikan, kecuali pengelolanya dari awal sudah menerapkan sistem pembenaran keunggulan dalam disparitas dan diskriminasi yang bertumpu pada kapitalisme pendidikan. "Apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya".

Moh Muhibbin Peneliti pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya, Ekonomi, dan Politik (LP2BEP) Gresik

sumber:www.kompas.com


Belajar dari Orangtua dan "hidden curriculum"

Orangtua: pendidik pertama dan utama

Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Di dalam keluarga, sebelum anak masuk sekolah, anak-anak memperoleh pendidikan dengan bebas dan cintakasih serta tanpa kurikulum yang ketat. Materi pendidikan apa saja yang kemudian dapat dikembangkan kelak jika anak masuk ke sekolah. Orangtua mengajar anak-anak: berhitung, membaca, ilmu alam dst..serta budi pekerti atau agama atau iman. Sistem pendidikan, sejauh orangtua berhasil mendidik, dengan keteladanan/contoh ataupun refleksi hidup sehari-hari (dalam istilah sekarang CBSA). Dalam hal pendidikan budi pekerti lebih diutamakan pelaksanaan daripada ajaran atau wacana/omongan ("hidden curriculum"?).

Ketika orangtua tidak mampu lagi untuk mendidik anak-anaknya, maka mereka minta bantuan instansi pendidikan atau sekolah. Sekolah adalah pembantu orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dengan segala kemampuan, antara lain dana/uang, orangtua berusaha untuk mengusahakan sekolah yang bermutu.Menarik perhatian saya: orang yang sadar pendidikan tidak segan-segan untuk membayar mahal. Dan memang pendidikan yang bermutu pada hakekatnya mahal , jika orangtua membayar murah pasti ada instansi lain yang membayar, entah pemerintah atau swasta.

Dari pengalaman dan pengamatan pribadi, saya juga dapat mensharingkan: orangtua yang baik sungguh sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Maka jika mereka tidak mempunyai uang/dana untuk membayar uang sekolah, tidak segan-segan mereka mencari pinjaman (paling tidak ini pengalaman penulis serta pengamatan penulis terhadap orangtua yang sadar pendidikan).

Belajar dari orangtua?

Dalam hal apa kita dapat belajar dari para orangtua, pendidik pertama dan utama, yang berhasil mendidik anak-anaknya. Berikut saya sampaikan refleksi kami:

1) kebebasan dan cinta kasih: tanpa kebebasan dan cintakasih, pendidikan akan gagal. Cintakasih tanpa batas alias bebas, sedangkan kebebasan batasnya adalah cintakasih, dimana orang tidak melecehkan atau merendahkan yang lain (Ingat: Pendidikan yang membebaskan dari Paulo Freire). Dengan kata lain semakin banyak aturan yang dikenakan di dalam dunia pendidikan, hemat kami merupakan rambu-rambu yang menunjukkan pendidikan akan gagal. Dalam hal kebebasan dan cintakasih lebih banyak dibutuhkan keteladanan atau kesaksian dari para pendidik/guru. Anak yang tertekan atau suasana pendidikan yang menekan akan membuat frustrasi, dan jika anak atau siapapun berada dibawah tekanan, jelas mereka tidak akan mudah untuk berkembang dan bertumbuh.

2) perhatian terhadap pendidikan = opsi pada anak-anak: Perhatian orangtua terhadap pendidikan dengan jelas dapat dilihat dengan penyediaan dana yang memadai, meskipun dengan mencari hutang. Sayang negara kita mencari hutang yang begitu besar, tetapi tidak terarahkan ke pendidikan, tetapi ke material. Pemerintah lebih menekankan "material investment" dari pada "human investment". Atau dalam istilah "the man behind the gun", lebih memperhatikan "the gun" daripada "the man". Kami himbau agar para petinggi negara atau bangsa ini atau mereka yang berhasil jadi 'orang': sadarlah bahwa pendidikan itu mutlak harus diutamakan. Sediakan dana yang memadai untuk pendidikan, belajarlah dari para orangtua yang berhasil mendidik anak-anaknya: mencari hutang bukan untuk membangun gedung/rumah, tetapi untuk menyekolahkan anak-anaknya.

3) pendidikan budi pekerti/agama sebagai "hidden curriculum": Pendidikan budi pekerti/agama lebih ditekankan dalam pelaksanaan hidup sehari-hari, yang menjadi nyata dalam cintakasih kepada sesama, terutama terhadap mereka yang miskin atau kurang beruntung.

sumber:www.kompas.com


Pendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan Hidup

Selasa, 8 Juli 2008 | 21:40 WIB

JAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.

”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).

Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.

Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.

Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.


ELN

sumber:www.kompas.com

Banyak Guru Belum Paham Paradigma Pembelajaran

Sabtu, 17 Mei 2008 | 11:43 WIB

JAKARTA,SABTU - Pergeseran paradigma proses pendidikan, menurut pakar pendidikan Diana Nomida Musnir, agaknya belum dipahami sepenuhnya oleh para pendidik di Indonesia. Perubahan paradigma dari 'pengajaran' ke 'pembelajaran' merupakan perpindahan pusat proses pendidikan dari guru ke murid, dari transfer pengetahuan ke transformasi pengetahuan. Pasalnya, guru sendiri belum siap dengan kondisi ini.

"Misalnya, akhir-akhir ini karena ramai isu kenaikan BBM, kita sering dengar istilah 'barrel' tapi nggak paham tentang istilah itu," ujar Diana dalam Workshop Nasional Penerapan Model Pembelajaran Inovatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Di Sekolah di Jakarta, Sabtu (17/5). Diana sempat menanyakan makna 'barrel' ke para peserta workshop namun ternyata banyak yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, menurut Diana, perubahan paradigma tersebut meminta para guru untuk memperkaya diri terlebih dahulu sehingga anak didik memperoleh wawasan yang kaya pula.

"Bagaimana kita mengharapkan anak didik kita utuh kalau kita sendiri tidak utuh dan tidak belar untuk utuh? Ini bisa dapat dicapai bukan dengan pembelajaran monodisiplin, multi maupun inter, tapi transdisiplin," ujar Diana. Selain itu, pada faktanya kebutuhan murid belum dijadikan sentral oleh para guru supaya potensi murid dapat digali secara optimal. "Kita ini adalah pelayan anak. tapi sampai sekarang ini, kita banyakan menuntun anak atau malah menuntut," tandas Diana.

Proses pembelajaran harus dikembangkan menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan, atau yang biasa disebut PAKEM. Secara aktif, guru harus belajar memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang atau mempertanyakan siswa. Secara kreatif, guru harus mampu mengembangkan kegiatan yang beragam dengan alat bantu yang sederhana.

"Tantangan biasanya adalah alat bantu yang mahallah atau apa, tapi sebenarnya guru bisa mulai dengan sederhana, memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita untuk menantang murid kreatif. Murid yang kreatif itu yang bisa merancang membuat sesuatu, menulis dan mengarang," tukas Diana.

Sedangkan untuk membuat sesuatu yang menyenangkan, guru harus belajar untuk tidak membuat anak takut ketika salah atau tidak menganggapnya remeh. Caranya yang sederhana, menurut Diana, melalui raut muka yang tidak segera berubah ketika anak salah menjawab sehingga anak tersebut tidak takut lagi mengeluarkan pendapatnya dalam kesempatan lain.


LIN

sumber:www.kompas.com

Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan

Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB

SLAMET EFFENDY YUSUF

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.

Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.

Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.

Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.

Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.

Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.

Transformasi ilmu

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.

Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.

Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.

Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.

Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.

Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.

Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.

Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen


SLAMET EFFENDY YUSUF

sumber: www.kompas.com








Standar UN Dinaikkan, Sejumlah Guru Mengaku Tak Sanggup

Senin, 14 April 2008 | 20:24 WIB

PURBALINGGA, SENIN-Sejumlah guru sekolah menengah atas di Purbalingga dan Banyumas mengaku tak sanggup untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional yang akan diselenggarakan 22 April mendatang. Hal itu menyusul naiknya standar UN dari 5,00 menjadi 5,25 ditambah dengan bobot soal yang cukup sulit.

Prasetyo, guru SMA Negeri 1 Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Senin (14/4), mengaku, tak hanya siswa yan g pusing menghadapi UN kali ini, para guru juga dibuat pusing. Terlebih lagi, jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bertambah dari empat mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran.

Pelaksanaan UN, menurutnya, juga lebih cepat satu bulan dibandingkan tahun lalu yang diselenggarakan pada bulan Mei. Akibatnya, guru harus memadatkan mata pelajaran. "Karena dengan dimajukannya pelaksanaan UN pada bulan April ini, proses belajar mengajar satu semester hanya efektif berlangsung selama lima bulan," tuturnya.

Karenanya, dia mengaku pesimistis dapat mempersiapkan siswanya agar bisa lulus UN seluruhnya pada tahun ini. Tahun kemarin saja, ada 80 siswa dari 140 siswa di sekolah kami yang tidak lulus. "Bagaimana dengan sekarang," ujarnya.

Salah seorang pengurus Forum Interaksi Guru Banyumas, Agus Wahyudi, juga mengakui hal yang sama. Menurutnya, hampir seluruh SMA yang berada diluar Kota Purwokerto belum siap menghadapi UN tahun ini dengan standar yang terlampau tinggi. Contohnya pada tahun 2007, 25 persen sisw a SMA di Kecamatan Patikraja dan Rawalo tak lulus UN.

Sudah banyak guru SMA yang mengeluh dengan standar UN sekarang ini, terutama untuk SMA negeri yang berada di pinggiran kota maupun swasta. Mereka belum mampu karena kapasitas siswanya sendiri pun terba tas. "Hal itu sangat terlihat dari standar nem (nilai evaluasi murid) siswa yang masuk ke sekolah itu," tuturnya.

Meningkatnya standar kelulusan UN, lanjut Agus yang juga guru di SMA Negeri 1 Purwokerto, juga tak hanya membuat sulit guru dan siswa, melainkan juga orang tua siswa. Dengan standar kelulusan yang dinaikkan, para orang tua siswa pun harus mengeluarkan biaya lagi untuk meleskan anaknya di bimbingan belajar. "Biayanya untuk ini, tentu saja tidak sedikit," ucapnya.

Agus mengatakan, sejak pertama kali pun dirinya sudah meminta kepada pemerintah agar UN ditiadakan. Penerapan UN sama saja bertentangan dengan nilai pembelajaran. Nilai pembelajaran itu kan bagaimana guru mentransformasikan pengetahuan kepada siswa, dan bagaimana siswa memahaminya. "Bukan malah siswa diwajibkan untuk mengerjakan soal-soal pilihan ganda, dan mendapat nilai," tuturnya. (MDN)

sumber:www.kompas.com

UN Jangan Jadi Acuan

Senin, 19 Mei 2008 | 00:42 WIB

PALUPI PANCA ASTUTI

Sebagai bagian dari komponen evaluasi pendidikan, publik setuju apabila ujian nasional dipakai sebagai tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, ujian nasional sebaiknya jangan dijadikan acuan atau dasar kelulusan siswa, tetapi kelulusan siswa mengikuti standar sekolah yang bersangkutan.

Hal itu terangkum dalam jajak pendapat terhadap 871 pemilik telepon rumah di 10 kota besar pada 7-9 Mei 2008. Sebanyak 70 persen responden setuju apabila ujian nasional (UN) dilaksanakan dengan tujuan penyeragaman mutu pendidikan. Meski demikian, 75 persen responden mengingatkan hal ini menjadi tugas berat pemerintah karena beragamnya mutu pendidikan di Tanah Air.

UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi kognitif atau akademik siswa. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku peserta didik. Dalam prosesnya, perubahan perilaku membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif), dan keterampilan gerak (psikomotorik). Sementara UN cenderung mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik.

Dilaksanakannya UN membuat sekolah-sekolah melakukan model belajar drilling, memaksa peserta didik terus-menerus berlatih soal mata pelajaran yang akan diujikan. Siswa dipaksa menghafal beragam tipe soal dan rumus, tanpa harus memikirkan logika soal yang dihadapi atau kritis terhadap permasalahan yang ia hadapi. Potensi otak yang sangat luar biasa pun menjadi terlatih berpikir konvergen, yaitu berpikir secara menyempit. Setiap masalah yang muncul hanya butuh satu jawaban, tak ada alternatif. Sekolah hanya sebagai tempat ujian, bukan wahana mengasah akal budi.

Di sisi lain, penyamarataan soal-soal UN merugikan sekolah dan peserta didik yang belum mencapai taraf pembelajaran setingkat yang diujikan UN.

UN per jenjang

Jika melihat kenyataan mutu pendidikan Indonesia yang bervariasi, semestinya evaluasi pendidikan tidak bersifat standar di seluruh daerah. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 2006-2007 sekitar 285.000 guru sekolah menengah atas (SMA) memiliki tingkat pendidikan akhir yang beragam mulai dari diploma tiga (D-3) hingga strata 1 (S-1).

Namun, kenyataan itu tidak memengaruhi pendapat publik tentang perlunya ujian nasional dan keseragaman soal dalam UN. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju pelaksanaan UN di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak daripada yang tidak setuju. Jika dilihat per jenjang, hanya 11 persen responden tidak setuju terhadap pelaksanaan ujian nasional SMA. Sementara pada sekolah menengah pertama (SMP) kurang dari sepertiga responden tidak setuju UN. Hanya terhadap pelaksanaan UN di jenjang sekolah dasar (SD) publik tampak ragu. Di kategori ini, meski jumlah yang setuju tetap lebih besar, yaitu 60 persen, selebihnya menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu.

Walaupun indikasi setuju cukup kuat, hal ini tidak menutupi keresahan publik. Tidak semua sekolah telah mencapai kompetensi seperti yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, terhadap standardisasi tingkat kesulitan butir soal, tanggapan responden cukup berimbang. Mereka yang setuju terhadap penyeragaman soal sekitar 53 persen dan yang tidak setuju mencapai 45 persen.

Di samping itu, menurut teori kecerdasan majemuk dari Gagne, tidak semua orang berpotensi menjadi ahli Matematika, Bahasa Inggris, atau mata pelajaran lain yang diujikan dalam UN. Bagi jago olahraga, misalnya, UN adalah monster. Hal itu karena jika mereka tak lulus UN, pupuslah langkah mereka ke pendidikan berikutnya.

Penggunaan hasil nilai UN untuk menentukan kelulusan ditanggapi secara kontroversial oleh publik. Responden yang menerima 49,6 persen dan yang menolak 49,7 persen. Mereka yang menolak, terutama tergambar pada orangtua yang memiliki anak yang bersekolah di SLTA dan kalangan responden berpendidikan tinggi (perguruan tinggi). Pendapat setuju lebih banyak dilontarkan responden berpendidikan SLTP ke bawah.

UN, sesuai namanya, adalah bagian dari evaluasi pendidikan secara nasional. Namun, jika UN ditetapkan sebagai penentu kelulusan siswa, ia bisa dianggap algojo yang mengeksekusi nasib dan masa depan ribuan siswa yang tidak lulus. (Litbang Kompas)

sumber:www.kompas.com

Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan

Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB

SLAMET EFFENDY YUSUF

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.

Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.

Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.

Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.

Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.

Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.

Transformasi ilmu

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.

Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.

Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.

Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.

Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.

Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.

Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.

Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen

sumber:www.kompas.com




sumber:www.kompas.com

UN, Ada yang Perlu Didiskusikan

Ester Lince Napitupulu

Penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun tak pernah berhenti menuai kontroversi. Wacana yang mencuat pada pelaksanaan ujian nasional tahun ini berada di pusaran tuntutan untuk mengevaluasi ujian nasional seperti yang diperintahkan pengadilan tinggi dan ujian nasional sebagai ujian kejujuran semua pemangku kepentingan pendidikan.

Jauh hari sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo gencar mewacanakan bahwa UN bukan sekadar menguji kompetensi siswa dan sekolah, namun yang justru terpenting apakah ada kejujuran selama pelaksanaannya. Pernyataan UN sebagai ujian kejujuran bagi semua pemangku kepentingan pendidikan itu bahkan ditindaklanjuti dengan ketegasan untuk memidanakan siapa saja yang berani menodai kredibilitas penyelenggaraan UN.

Ketika gong UN dimulai dengan pelaksanaan UN SMA sederajat pada 22-24 April lalu, ternyata tetap menuai masalah. Kecurangan terus terjadi dan itu semakin menegaskan bahwa peluang terbesarnya ada di sekolah, terutama oleh guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjaga citra pendidikan.

Kenyataan ini semakin menguatkan tuntutan supaya ada evaluasi serius tentang pelaksanaan UN. Kecurangan yang dilakukan guru demi alasan apa pun sepakat dinyatakan menyalahi hukum. Tetapi, gugatan kemudian berkembang, kenapa pemerintah tak juga mau mengevaluasi penyelenggaraan UN yang setiap tahun selalu membuahkan persoalan yang tidak kondusif bagi kemajuan pendidikan itu?

Yang juga dipertanyakan adalah masalah ketidakpercayaan pemerintah yang begitu besar kepada guru dan sekolah. Seakan-akan buah pendidikan yang dinilai pemerintah belum memuaskan itu harus menjadi tanggung jawab pendidik.

Sementara itu, pembelajaran yang tercipta di sekolah-sekolah lebih pada menyiapkan siswa untuk mampu lolos dari UN. Padahal, pendidikan yang diharapkan itu yang mampu membuat siswa sungguh-sungguh memahami apa yang dipelajarinya sehingga berguna untuk kehidupan dan masa depannya kelak.

S Hamid Hasan, pakar evaluasi kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membenarkan negara dan lembaga independen melakukan evaluasi pendidikan. Akan tetapi, evaluasi yang dimaksud adalah untuk menilai kualitas satuan pendidikan. Adapun untuk menilai hasil belajar siswa, termasuk menentukan lulus atau tidak, tetap merupakan wewenang guru dalam satuan pendidikan.

”Ujian nasional menetapkan keberhasilan orang atas dasar nilai yang diperoleh saat itu atau istilahnya single score. Ini bertentangan dengan prinsip evaluasi dan konstitusi pendidikan,” ujar Hamid.

Perlu dipaksa

Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin, Bambang Sudibyo dengan gamblang menjelaskan pertimbangan pemerintah mempertahankan kebijakan UN. Penyelenggaraan UN dinilai mampu ”memaksa” siswa dan guru untuk disiplin belajar sehingga mampu mencapai standar kompetensi lulusan yang ditetapkan pemerintah demi mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia.

”Masyarakat kita itu perlu dipaksa dulu untuk mau belajar. Inilah mengapa UN itu mampu membuat semua pihak jadi sungguh-sungguh belajar. Jika semua sekolah sudah bagus mutunya, UN tidak diperlukan lagi,” kata Bambang.

Pemerintah, kata Bambang, sangat memahami terjadinya pro-kontra pelaksanaan UN. Kalangan yang menolak UN dinilai mungkin menganggap sekolah di Indonesia sudah cukup baik dan guru serta sekolah bisa mengukur kemampuan siswanya sendiri.

”Saya justru berkeyakinan, ujian nasional itu tetap perlu karena guru dan siswa kita masih perlu dipaksa untuk mau disiplin belajar,” kata Bambang.

Alasan lain UN dipertahankan, menurut Bambang, karena hasilnya mampu meningkatkan penilaian Indonesia di antara negara-negara internasional. Selain itu, dengan ketekunan belajar, tawuran di antara pelajar juga semakin berkurang.

Rata-rata capaian UN SMP dan SMA secara nasional terus meningkat. Pada tahun 2004 di tingkat SMP rata-rata 5,26 pada tahun lalu menjadi 7,02, sedangkan di SMA dari rata-rata 5,31 menjadi 7,14.

Penyelenggaraan UN diakui memang mampu membuat sekolah dan siswa belajar maksimal. Tetapi, belajar yang terjadi sering kali dalam bentuk drilling dan try out. Akibatnya, makna belajar sering kali tereduksi hanya untuk lolos dari ujian.

Inilah sisi lain yang perlu diperbaiki dari UN. Berbagai pihak mestinya duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

sumber:www.kompas.com

40.000 Kursi untuk Pendidikan Profesi Guru

Rabu, 22 Oktober 2008 | 11:32 WIB

JAKARTA,RABU-Pendidikan profesi guru yang akan dilakasanakan pertama kalinya untuk calon guru pada 2009 dialokasikan hanya untuk 40.000 orang.

Pembatasan kuota calon guru TK-SMA/SMK ini selain untuk mejaga kualitas guru juga untuk menyediakan kebutuhan guru yang sesuai kebutuhan riil di lapangan.

"Pendidikan profesi guru ini terbuka untuk lulusan S-1 pendidikan dan nonkependidikan. Nanti diseleksi mana yang layak memenuhi kriteria untuk jadi guru yang bisa ikut pendidikan profesi," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, di Jakarta, Rabu (22/10), usai menghadiri E-9 Senior Meeting.

Menurut Fasli, pemerintah akan menunjuk lembaga pendidik dan tenaga kependidikan (LPTK) yang berhak membuka pendidikan profesi. Setiap LPT diberi kuota oleh pemerintah. Pendidikan profesi untuk guru TK dan SD diikuti selama satu tahun. Pesertanya sarjana pendidikan Guru TK dan SD. Adapaun untuk guru mata pelajaran, pendidikan profesi selama enam bulan. Untuk pendidikan profesi bagi guru mata pelajaran ini bisa diikuti sarjana pendidikan dan nonpendidikan.


ELN

sumber:www.kompas.com


Pendidikan Profesi Guru Dibuka Mulai September

Selasa, 3 Maret 2009 | 19:25 WIB

JAKARTA, SELASA — Pendidikan profesi guru bagi sarjana pendidikan dan nonpendidikan mulai dibuka September 2009. Pendaftaran calon guru yang hendak ikut pendidikan profesi ini dibatasi 40.000-50.000 orang yang ditetapkan pemerintah kota/kabupaten.

"Pelaksanaannya tinggal menunggu keputusan Menteri Pendidikan Nasional soal penetapan perguruan tinggi yang boleh menyelenggarakan pendidikan profesi guru. Untuk mengantisipasi kebutuhan guru baru karena banyak guru yang akan pensiun, pendidikan profesi guru siap dilaksanakan September nanti. Tetapi jumlah calon guru yang ikut dibatasi dan diseleksi, sesuai kuota yang disediakan pemerintah pusat dan daerah," kata Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dalam acara peresmian Putera Sampoerna School of Education di Jakarta, Selasa (3/3).

Fasli menjelaskan pendidikan profesi guru ini untuk menghasilkan guru-guru profesional dan berkualitas yang bisa meningkatkan mutu pendidikan di sekolah-sekolah. Pendidikan profesi guru TK/SD dilaksanakan selama enam bulan, sedangkan untuk pendidikan profesi guru untuk mata pelajaran di tingkat SMP, SMA dan SMK selama satu tahun.

Adanya guru profesional ini diharapkan bisa membawa perubahan dalam pembelajaran di kelas. sebagai konsekuensinya, pemerintah mengalokasikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok PNS setiap bulan bagi guru negeri dan swasta.

Fasli menyebutkan pada tahun 2008 pemerintah mengaloaksikan tunjangan profesi bagi guru yang sudah memeliki sertifikat pendidik senilai Rp 2,9 triliun. Pada 2014, jumlahnya meningkat hingga Rp 76 triliun.

S Gopinathan, Konsultan Senior Putera Sampoerna School of Education, mengatakan guru yang berkualitas bisa mendorong siswa untuk bisa berprestasi baik. Pemerintah perlu bertanggung jawab untuk investasi pendidikan guru yang berkesinambungan demi terciptanya mutu pendidikan nasional yang diinginkan.


Ester Lince Napitupulu

sumber:www.kompas.com

Tingkatkan SDM, Guru Butuh Pendidikan Tinggi Jarak Jauh

Selasa, 2 September 2008 | 20:00 WIB

JAKARTA, SELASA - Pendidikan tinggi jarak jauh dengan kualitas akademik yang baik sangat dibutuhkan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia, terutama kalangan guru. Namun, pilihan guru untuk menikmati layanan pendidikan tinggi masih terbatas akibat minimnya infrastruktur pendidikan. Padahal ada satu juta lebih guru yang harus meningkatkan kualifikasi pendidikan diploma IV atau S-1 hingga tahun 2015.

"Para guru ini kan diwajibkan untuk mencapai kualifikasi akademik D-IV/S-1, tetapi disyaratkan jangan sampai melalaikan kewajiban mengajar. Ini kan dilema buat guru. Solusinya ya harus ada pilihan pendidikan tinggi jarak jauh yang beragam dengan tetap mengutamakan kualitas akademik," kata Sulistyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Indonesia di Jakarta, Selasa (2/9).

Menurut Sulistyo, pemerintah harus segera mengatur penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, terutama untuk melayani guru. Jika mengandalkan Universitas Terbuka saja, kemampuannya terbatas.

Selain menyediakan infrastruktur yang mendukung pengembangan pendidikan jarak jauh, semisal teknologi informasi dan komunikasi, juga perlu disiapkan supaya layanan pendidikan ini juga menyediakan modul-modul yang bisa dipahami untuk belajar mandiri. Dengan demikian, pendidikan tinggi untuk peningkatan kualitas guru yang berdampak dalam pengajarannya di kelas bisa tercapai.

Kemantapan UT di pusat itu belum tentu cerminan di daerah lain. Untuk tutor saja, masih ada yang guru SD-SMA yang kebetulan sudah S-1. Jadi perlu diatur mana perguruan tinggi yang siap dan mampu melaksanakan pendidikan jarak jauh. Itu harus dicek betul supaya terjamin kualitasnya. "Sebab, peningkatan kualitas akademik guru itu bukan untuk mengejar ijasah, tapi untuk membentuk guru yang bermutu sehingga pendidikan kita ada perbaikan," tambah Sulistyo.


Ester Lince Napitupulu

sumber:www.kompas.com

Siswa dan Guru Berprestasi di Gresik Dapat Penghargaan

Jumat, 2 Mei 2008 | 16:03 WIB

GRESIK, JUMAT - Pada peringatan hari pendidikan dan nasional dan dalam rangka 100 tahun kebangkitan nasional yang jatuh pada 20 Mei nanti, sejumlah guru dan siswa berprestasi serta insan yang berjasa di bidang pendidikan di Gresik, Jumat (2/5) mendapat penghargaan dari Bupati Gresik Robbach Ma'sum. Robbach juga memberikan penghargaan kepada para guru, Kepala Sekolah dan Pengawas sekolah yang berhasil.

Robbach berpendapat beragam prestasi yang diraih siswa, guru di Gresik merupakan implikasi keseriusan Pemkab Gresik yang menempatkan bidang pendidikan sebagai program skala prioritas. "Selain mendapat kucuran dana 27,26 persen dari APBD, pada tahun 2008, Pemkab Gresik akan meng-ISO-kan bidang pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD)," kata Robbach.

Dia menambahkan perkembangan alokasi dana pendidikan di Gresik dari tahun ke tahun meningkat. Pada 2006 sebesar 16 persen, 2007 sebanyak 20 persen dan dan 2008 mencapai 27,26 persen dari APBD. Peningkatan anggaran tersebut ternyata diimbangi dengan prestasi yang diraih baik tingkat nasional maupun lokal.

Prestasi tingkat nasional diantaranya Moh Hammam Mahrus siswa SD NU Gresik menjadi finalis Olimpiade Matematika dan IPA, Jefri Pradana siswa SMA Negeri I Gresik menjadi finalis Olimpiade Kimia, Alifatul Maslahah dari SMA Negeri 1 Gresik menjadi finalis Olimpiade Astronomi. Prestasi tingkat Provinsi Jawa Timur diraih oleh Reydience Satya Pramita P dari SMP Negeri 1 Gresik, sebagai juara I lomba membaca cerita rakyat tingkat Provinsi Jawa Timur.

Sementara prestasi di bidang olahraga juga menggembirakan diantaranya medali emas Pekan Olah Raga Provinsi di cabang senam lantai diraih oleh Bella Sydney Aurella dari SD Negeri Sukomulya Kecamatan Manyar dan medali emas cabang senam oleh Alwiyah Islamiyah dari SD Negeri Bedilan 2. Robbach menyerahkan penghargaan kepada Mohammad Nizar siswa Sekolah Luar Biasa Kemala Bhayangkari yang mampu memainkan alat musik piano secara otodidak. Sedangkan Adam Pahlevi Baihaqi siswa SMP Negeri 1 Gresik yang berhasil menyusun buku program Informasi teknologi (IT) berjudul Build and Hack your Blogger Now diberi penghargaan khusus.

Sementara itu di Lamongan sekitar 500 siswa siswi SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) melakukan atraksi senam sehat keluarga Indonesia (SKI) sebagai pembuka peringatan Hardiknas. Masfuk menyatakan pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini telah mengalami kemajuan, tetapi banyak juga persoalan pendidikan yang harus diselesaikan.

Dalam kurun waktu tahun 2005-2007, hasil pendanaan massal pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah membebaskan 70,3 persen murid SD/MI dan SMP/MTs dari pungutan biaya operasional. Peningkatan kualifikasi, kompetensi dan sertifika si pendidik dan tenaga kependidikan secara massal pada 2007 mencapai 81.800 guru hingga Sarjana dan Diploma IV, serta 8.540 dosen hingga Magister (S2)/Doktoral (S3). Secara nasional telah dilakukan sertifikasi untuk 147.217 guru, membacakan sambutan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Terkait E-Learning, hingga akhir 2007 telah tersambung dengan jaringan pendidikan nasional (jardiknas). Zona sekolah telah tersambung di lebih dari 10.000 sekolah. Sedangkan di perguruan tinggi tersambung di 82 perguruan tinggi negeri, 133 perguruan tinggi swasta serta 36 unit pendidikan belajar jarak jauh Universitas Terbuka yang melayani 60 persen dari populasi mahasiswa.


ACI
Sumber : KOMPAS

Tim PKK Lamongan Bantu Sarana Pendidikan TK

Selasa, 10 Juni 2008 | 16:07 WIB

LAMONGAN, SELASA - Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga Selasa (10/6) memberikan bantuan bantuan dana pengadaan sarana dan prasarana pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak di Kecamatan Karanggeneng. Bantuan yang diberikan berupa mainan mandi bola dan cangkir putar serta bantuan pada Posyandu di Desa Mertani.

Bantuan kali ini diberikan kepada (TK) Mekar Sari di Desa Kawistolegi dan TK Jaya di Desa Jagran. Bantuan dana untuk penggadaan alat peraga diberikan kepada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah di Desa Kawistolegi. Selain itu bantuan diberikan untu k TK PKK Sejahtera dan bantuan dana perbaikan dan pembinaan kulintang PKK di Desa Mertani.

Sebelumnya Tim Penggerak PKK Lamongan juga telah memberikan bantuan serupa di Kecamatan Babat dan Modo. Ketua penggerak PKK Endang Ridjanti Masfuk berharap dengan bantuan tersebut anak-anak TK lebih semangat dan senang belajar. Dengan bantuan sarana perma inan diharapkan anak-anak TK lebih dapat ditingkatkan kreatifitas dan kecerdasan berpikirnya.

Bantuan yang diberikan merupakan bentuk apresiasi PKK terhadap pendidikan dini dan komitmen meningkatkan pendidikan di Lamongan. "Masa taman kanak-kanak merupakan masa keemasan anak dan peran pendidikan begitu besar dalam membentuk anak didik. Maka kami m emberikan dukungan pendidikan berupa dana pengadaan sarana dan prasarana untuk TK, " kata Endang.


Adi Sucipto

sumber:www.kompas.com

UN Harus Diikuti Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah

Senin, 7 April 2008 | 15:44 WIB

JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).

"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.

Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.

Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.


DIV

sumber:www.kompas.com


Guru Merasa Diperlakukan Habis Manis Sepah Dibuang

Selasa, 2 September 2008 | 20:11 WIB

JAKARTA, SELASA - Para guru yang baru pulang mengabdi sebagai guru tidak tetap tetap bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Sabah, Malaysia merasa diperlakukan habis manis sepah dibuang. Mereka menuntut manajemen program itu diperbaiki.

Terdapat 50 guru yang baru saja habis masa kontraknya dan kembali ke Tanah Air akhir Agustus lalu. Tadinya ada 109 guru pemerintah Indonesia tersebar di sejumlah daerah perkebunan kelapa sawit di Sabah. Mereka menyampaikan keluhan tersebut dalam jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Selasa (2/9).

Ketua Forum Guru Tidak Tetap di Sabah, Tetep Saipul mengatakan, mereka bekerja tanpa mengetahui secara jelas MoU antara pemerintah, pemerintah Malaysia, dan Humana Child Aid Society. Humana merupakan organisasi nonpemerintah pengelola pusat bimbingan belajar bagi anak TKI. Guru tidak tetap asal Indonesia yang terseleksi dan berpendidikan minimal strata satu itu kemudian ditempatkan di pusat-pusat belajar yang dikelola Humana. Mereka dikontrak selama dua tahun oleh pemerintah Indonesia.

Kondisi guru juga memprihatinkan. Sebagian dari mereka tinggal di sekolah tanpa fasilitas dasar memadai seperti keberadaan kamar mandi. Mereka juga harus mengajar multigrade. Supervisor Guru Tidak Tetap yang menangani anak-anak TKI di Sabah dari Departemen Pendidikan Nasional, Kamal Fikri mengungkapkan, para guru memang bekerja dalam kondisi yang berat dan melampui batas kewajiban mereka. Permasalahan pendidikan anak TKI di Malaysia sangat kompleks, ujarnya.

Akan tetapi, pengabdian mereka tersebut tidak berbalas pengalaman manis. Gaji mereka kemudian menjadi persoalan. Mereka seharusnya mendapat Rp 6.032.000 per bulan. Namun, yang diterima hanya Rp 4.937.500 lantaran dipotong administrasi pembelajaran sebesar Rp 1.050.000. Padahal, guru-guru tidak merasakan hasilnya, begitu pula dengan potongan asuransi yang menurut guru tidak banyak bermanfaat. Guru juga tidak mendapatkan pelayanan yang layak dari Malaysia . Saat sakit mereka harus mengeluarkan biaya lagi. Padahal, biaya asuransi setiap guru berjumlah 800 RM atau sekitar dua juta rupiah. Salah seorang guru, Murnilawati, bahkan sempat tidak mendapat gaji selama enam bulan. Rapelannya baru diterima sesampainya di Indonesia dan itupun setelah diklaim, ujarnya. Sebagai guru tidak tetap, nasib mereka sepulangnya ke tanah air juga belum ada kejelasan atau menjadi pengangguran.

Kepergian mereka ke Malaysia dengan seremonial meriah dan diantarkan para pejabat Departemen Pendidikan Nasional, Wakil Presiden RI dan Menteri Pendidikan Nasional. Namun, proses pemulangan mereka jauh berbeda. Tidak ada satu pun pejabat dan tim dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas yang menyambut mereka di Sabah seperti saat pemberangkatan dulu. Mereka juga sempat kekurangan dana kepulangan sehingga supervisor mereka harus meminjam uang sekitar 2.000 RM dari Humana.

Sesampainya di Jakarta, tempatnya di Wisma Handayani, hanya dua orang staf PMPTK yang menyambut dan diakhiri ucapan terima kasih serta pemberian surat keterangan telah melaksanakan tugas di Sabah. "Setelah itu pergi meninggalkan kami di wisma sampai saat ini. Kami merasa sebagai guru, habis manis sepah dibuang," ujar Khoerul Wajid yang juga wakil Koordinator Batch I program itu. Agar terdapat perbaikan, mereka meminta adanya evaluasi komprehensif terhadap program pengiriman guru untuk anak TKI di Sabah, Malaysia baik mengenai keberadaan anak TKI maupun guru yang mengabdikan diri di sana.


Indira Permanasari S

sumber:www.kompas.com

Perpustakaan Harus Langsung di Bawah Kepsek

Jumat, 30 Mei 2008 | 21:40 WIB

YOGYAKARTA, JUMAT - Walaupun sumber daya manusia sudah bagus, untuk maju, perpustakaan sekolah tetap perlu perhatian kepala sekolah. Garis koodinasi perpustakaan harus langsung di bahwa kepala sekolah sehingga urusan pembelian buku, barang, dan inventaris menjadi singkat tanpa birokrasi

Rodatun Widayati, Kepala Perpustakaan Madrasah Aliyah Negeri III Yogyakarta-sekolah yang tahun lalu menyabet juara pertama kategori perpustakaan terbaik-menyampaikan itu dalam Workshop Mengelola Perpustakaan Sekolah di Jogja Expo Center (JEC), Jumat (30/5). Acara itu merupakan rangkaian Kompas Gramedia Fair (KGF) 2008.

"Masih banyak perpustakaan di negeri ini tidak maju karena garis koordinasinya tak langsung di bawah kepala sekolah (kepsek), karena hanya ditempatkan di bawah unit Tata Usaha (TU), atau Bagian Sarana Prasarana (sarpras) sekolah," kata Rodatun.

Dengan garis koordinasi di bawah kepala sekolah, perpustakaan akan mudah berpendapat dan mendapat perhatian. Dari contoh sederhana, misalnya dalam hal pengadaan buku, alat pembersih, pembelian perangkat pendukung, hingga menggelar sejumlah acara.

"Masih saja selalu kita dengar bahwa perpustakaan butuh berbulan-bulan agar usulannya membeli buku terealisasi. Demikian juga untuk beli kain pel. Atau hendak mengadakan acara diskusi. Itu, bagi saya, sungguh memprihatinkan," ujar Rodatun.

Ria Purwiati dari Pusat Informasi Kompas (PIK) yang juga pembicara mengatakan, perpustakaan harus ada kegiatan penunjang seperti diskusi hingga mengundang komunitas. Dari sana, kendala-kendala seperti keterbatasan dana, sedikit ketemu solusinya.

Rustini, peserta seminar yang juga pustakawan SMP 1 Temanggung, Jawa Tengah, mengatakan, pengadaan buku koleksi masih jadi masalah sulit. SDM ada. "Tapi selalu terbentur dana. Ini sepatutnya menjadi pemikiran pemerintah," ujarnya.


PRA

sumber:www.kompas.com


Depdiknas Bangun Lima SMK di Daerah Perbatasan

Kamis, 26 Februari 2009 | 18:08 WIB

MAGELANG, KAMIS — Departemen Pendidikan Nasional tahun ini akan mulai membangun lima sekolah menengah kejuruan (SMK) di daerah perbatasan. Tiga dari lima SMK tersebut akan didirikan di perbatasan Indonesia-Malaysia, yaitu di Nubukan, Kalimantan Timur, serta di Taloh dan Entikong, di Kalimantan Barat. Dua SMK lainnya akan didirikan di perbatasan Indonesia-Filipina tepatnya di Tahuna, Sulawesi Utara, dan di perbatasan Indonesia-Vietnam-Thailand, yaitu di Natuna, Kepulauan Riau.

Direktur Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Joko Sutrisno mengatakan, pendirian SMK-SMK ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan di sektor ekonomi, dan bisnis sekaligus juga sebagai bagian dari upaya mengamankan negara.

"Jika perekonomian tumbuh semakin pesat dan kebutuhan masyarakat tercukupi, maka daerah perbatasan di wilayah Indonesia akan tetap aman dan tidak akan mungkin bergeser menjadi milik negara lain," ujarnya, dalam acara Lomba Keterampilan Siswa (LKS) SMK I Tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 di GOR Suroto di Kompleks Akademi Militer Magelang, Kamis (26/2).

Pembangunan SMK akan segera dilaksanakan minggu depan. Pada tahap selanjutnya, masing-masing SMK tersebut akan memiliki program kejuruan yang berbeda-beda sesuai dengan potensi sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Pembangunan SMK di daerah-daerah perbatasan ini, menurut Joko, dilaksanakan Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan TNI. Selain dalam kegiatan pembangunan fisik gedung sekolah, TNI nantinya juga akan dilibatkan sebagai tenaga pengajar. "Para anggota TNI nantinya akan membantu mengajarkan materi pelajaran bela negara dan cinta tanah air," terangnya.

Mengikuti program TNI manunggal pendidikan, keterlibatan personel TNI untuk mengajar materi bela negara dan cinta Tanah Air ini juga akan dilaksanakan di SMK-SMK lainnya.

Kekurangan 10.000 guru

Saat ini, Joko mengatakan, masih terjadi kekurangan 10.000 guru SMK. Kekurangan tenaga pengajar ini terjadi merata hampir di 7.446 SMK di Indonesia. "Terutama sekali, kekurangan tenaga guru terjadi pada SMK-SMK yang berdiri di daerah pedesaan dan terpencil, jauh dari pusat keramaian," terangnya.

Untuk menutup kekurangan guru tersebut, Joko mengatakan, SMK biasanya mendatangkan tenaga pengajar dari luar, yaitu dari kalangan mahasiswa yang baru menempuh kuliah kerja nyata (KKN), praktisi di perusahaan-perusahaan, dan personel TNI.

Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam sambutannya yang dibacakan Asisten III Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Inu Kertapati mengatakan, selain guru, para siswa SMK juga perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang dekat dengan dunia kerja.

"Kerja sama pelatihan dan program magang di sekolah-sekolah juga harus terus ditingkatkan, agar para siswa SMK semakin trampil dan terbiasa dengan dunia kerja yang akan digelutinya kelak," terangnya.


EGI

sumber:www.kompas.com

Gresik Resmikan Sarana Pendidikan Senilai Rp 17,6 Miliar

Rabu, 4 Juni 2008 | 16:31 WIB

GRESIK, RABU- Bupati Gresik Robbach Ma'sum, Rabu (4/6), meresmikan 396 sarana pendidikan yang tersebar di 69 sekolah negeri dan 330 lembaga pendidikan swasta. Sarana pendidikan termasuk gedung sekolah, laboratorium, dan taman pendidikan Al Quran didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gresik senilai Rp 17,6 miliar. Penandatanganan prasasti dipusatkan di Aula Sunan Giri SMA Negeri 1 Gresik.

Robbach berharap, seluruh sarana yang dibangun bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin dan sumber daya pendidik lebih ditingkatkan. Para kepala sekolah harus selalu memperbaiki manajemen pendidikan di sekolah masing-masing. "Kalau perlu metode dalam mempersiapkan materi pendidikan setiap guru selalu diperbaiki, jangan sampai tetap seperti zaman dulu," kata Robbach.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik Husnul Khuluq menambahkan, kualitas pendidikan di Gresik saat ini lebih baik dibanding kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007 biaya pendidikan yang dikeluarkan dari APBD sebesar Rp 77,216 miliar atau 22,5 persen dari APBD. "Jumlah tersebut tidak termasuk gaji guru sehingga Gresik menganggarkan pendidikan lebih dari 20 persen sebagaimana amanat undang-undang," kata Khuluq.

Menurut dia, biaya yang besar serta pembangunan sarana dan prasarana yang telah dianggarkan oleh APBD harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. "Yang terpenting keterjangkauan pendidikan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Jangan sampai ada anak orang tidak mampu tidak sekolah atau tak mampu membayar sekolah di Gresik," katanya.


sumber:www.kompas.com


Pendidikan Pesantren Masih Terdiskriminasi

Sabtu, 16 Februari 2008 | 16:37 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Pondok pesantren masih mengalami diskriminasi dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, sebagai lembaga pendidikan alternatif, pesantren memiliki peran strategis dalam ikut mendidik dan mencerdaskan bangsa.

Hampir seabad kebangkitan nasional dan lebih 62 tahun negara ini merdeka masih terjadi diskriminasi pendidikan pada pesantren, masyarakat yang ada di pesantren pun terdiskriminasi sistem pendidikan, ujar Nasruddin Anshoriy Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri, Bantul, Yogyakarta dalam seminar Menyambut Seabad Kebangkitan Nasional dengan Tema Pesantren dan Masa Depan Kebangkitan Nasional, , Sabtu (16/2) di Ndalem Joyokusuman, Yogyakarta.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Gunawan (anggota Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY), Hafidh Asrom (anggota Dewan Perwakilan Daerah DIY).

Diskriminasi itu tejadi antara pendidikan formal dengan pendidikan pondok pesantren. Menurut Nasruddin , dari sisi anggaran dan kebijakan terjadi ketimpangan sangat tajam di antara pendidikan formal dan pesantren. Perhatian pemeritah terhadap pesantren lebih kecil dibandingkan pendidikan formal. Pengelolaan pun ma sih dibedakan yaitu pendidikan formal di bawah departemen Pendidikan Nasional sedangkan ponpes di bawah Departemen Agama. Mayoritas anggaran pendidikan larinya ke pendidikan formal, ujarnya.

Meski demikian, pesantren tidak perlu kecil hati karena justru tetap bisa independen mengelola pendidikannya. Namun tetap memperjuangkan kesetaraan. Di sisi lain, pondok pesantren perlu merevolusi diri membuat perubahan moral bangsa. Peran kyai ulama sekarang melemah karena banyak berorientasi pada kepartaian, masuk pada hegemoni kekuatan politik dan struktural, ujarnya.

Hafidh menghungkapkan, pesantren tidak hanya berperan sebagai pendidikan agama Islam, tetapi juga berperan dalam membangun wawasan kebangsaan dan berperan penting dalam mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Sudah saatnya pesantren memperbarui sistem kurikulum yang berorientasi keahlian para santrinya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar pendidikan pesantren, ujarnya. (RWN)

Kurikulum Harusnya Bisa Prediksi SDM Masa Depan

Kamis, 20 November 2008 | 18:46 WIB

BANDUNG, KAMIS — Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini diterapkan perlu dievaluasi. Idealnya, kurikulum itu juga mampu memprediksi kebutuhan tenaga kerja di masa depan seperti halnya diterapkan di Malaysia dan sejumlah negara maju lainnya.

Demikian pokok pemikiran yang muncul dalam Seminar Pengembangan Model Evaluasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kamis (20/11) di Gedung JICA Universitas Pendidikan Indonesia. Hadir pembicara pakar kurikulum dari UPI, Universiti Malaya, Malaysia, dan Pusat Kurikulum Depdiknas RI.

Said Hamid Hasan, pakar kurikulum UPI, mengatakan, kurikulum adalah suatu hal yang bersifat dinamis. Menyesuaikan kebutuhan dan tren zaman. "Untuk itu, tidak ada salahnya kurikulum tiap periode disesuaikan. Kalau ganti menteri tidak ganti kurikulum, itu namanya menteri bodoh," ucapnya.

Hanya, kurikulum itu hendaknya tidaklah sekedar menitikberatkan aspek kognitif, apalagi yang sifatnya hanya ingatan dan komprehensi (comprehension) semata. "Inikan suatu masalah. Murid tidak diuji bagaimana memahami. Pendidikan moral misalnya, itu mesti lebih diarahkan ke kognisi. Isinya definisi-definisi. Tetapi, bagaimana caranya agar mereka bisa mengembangkan nilai-nilai itu dalam praktik, nyaris tidak ada," tuturnya.

Di dalam seminar ini, pakar kurukulum dari Malaysia, Saidah Siraj dan Zhaharah Husein berpendapat, di masa-masa mendatang, aspek softskill jauh dibutuhkan daripada kemampuan teknis dan kecerdasan SDM. Softskill yang berupa penguasaaan komunikasi, watak baik, dan kecerdasan emosional, menjadi hal unik yang membedakan dengan SDM lainnya. "Di tempat kami, siswa sejak dini diajarkan softskill dan entrepenurship," tutur Zhaharah.

Bahkan, seperti halnya di Amerika Serikat dan Qatar, pakar-pakar di Universiti Malaya kini tengah merancang kurikulum masa depan yang menggunakan bantuan sistem Delphie dan Cross Impact Analysis (CIA). Sistem ramalan kurikulum i ni biasa diterapkan di bisnis sekuritas dan militer di AS.

Dalam tahap awal, ucap Zharahah, tim pengembang menemukan kesimpulan awal bahwa bentuk pekerjaan di masa depan (10-15 tahun ke depan) bergantung pada kondisi ekonomi bangsa, pasar SDM akan makin berkurang akibat kemajuan teknologi. "Mereka pun menyimpulkan, pendidikan di tingkat dasar (taman kanak-kanak) jauh lebih penting daripada perguruan tinggi. Makanya, di Malaysia sekarang, iuran untuk pre school (TK) bisa tiga kali lipat lebih mahal dari universitas," ucapnya.

Hermana Soemantrie, dari Pusat Kurikulum Depdiknas RI membenarkan, KTSP setelah diterapkan dua tahun perlu dievaluasi efektivitasnya. Namun, terbatasnya pakar dalam bidang evaluasi kurikulum menjadi salah satu kendala.



Guru SD Dikerahkan Mengajar SMP

Sabtu, 2 Agustus 2008 | 13:43 WIB

MUSIRAWAS, SABTU - SMP Desa Pangkalan, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Sumsel, yang masih menumpang di gedung SDN Pangkalan belum memiliki tenaga pendidik sehingga kegiatan belajar mengajar sekolah tersebut tidak berjalan efektif.

"Sekolah kami memang belum memiliki guru. Guru yang mengajar di SMP ini semuanya guru SD tempat sekolah ini menumpang," kata Kepala Subdinas Pendidikan Dasar (Dikdas), Dinas Pendidikan Kabupaten Musirawas Drs Totok Suharto saat ditemui Sabtu (2/8).

Dikatakannya, keberadaan sekolah ini telah menjadi perhatian Diknas Musirawas, dan dalam waktu dekat direncanakan peningkatan status sekolah (akreditasi) menjadi sekolah negeri, yaitu SMPN, yang memiliki manajemen sendiri.

Kondisi sekolah, jelas Totok, sejak lama sudah dipantau dan berkoordinasi dengan pihak SDN Pangkalan dan Cabdin Diknas Kecamatan Rawas Ulu terkait pelaksanaan operasional sehari-hari. Pihaknya juga menilai kondisi SDN Pangkalan, tempat sekolah tersebut menumpang, saat ini sangat menyedihkan.

SDN Pangkalan saat ini hanya memiliki dua orang tenaga pengajar yang berstatus PNS, sedangkan yang lainnya berstatus guru honor komite, sehingga kedua sekolah ini perlu mendapat perhatian, khususnya dari Dinas Pendidikan Musirawas.

"Saat ini kita telah mengirim lima orang guru untuk mengikuti lokakarya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Palembang. Tujuannya agar kualitas tenaga pendidik dapat lebih baik lagi," jelasnya.










Pemerintah Bangun Sekolah Anak TKI Di Malaysia Rabu, 17 September 2008 | 20:47 WIB JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak

Rabu, 17 September 2008 | 20:47 WIB

JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.

Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.

Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.

Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.

Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.

Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.

Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.

Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.







Anak Berprestasi Masuk Perguruan Tinggi

Rabu, 11 Juni 2008 | 16:26 WIB

JAKARTA, RABU - Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Suyanto, mengingatkan bahwa anak-anak berprestasi dalam bidang sains, teknologi, seni atau olahraga harus diterima di jenjang pendidikan berikutnya tanpa hambatan. Mereka masuk tanpa tes dan mendapatkan bantuan pembiayaan, terutama bagi yang tidak mampu.

"Dalam waktu dua hari ini saya akan mengirim surat ke gubernur, bupati dan walikota agar anak-anak yang juara olimpiade dalam kelompok sains dan teknologi, seni, atau olahraga bisa diterima di sekolah jenjang berikutnya tanpa ada hambatan apapun. Terutama di sekolah-sekolah yang dibiayai oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Saya sempat ke beberapa daerah, ternyata para juara di olahraga merasa kurang mendapat perhatian ketika mereka mau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya," ujar Suyanto, Rabu (11/6).

Kemudahan para siswa berprestasi melanjutkan ke jenjang berikutnya tersebut bagian dari upaya pembinaan berkelanjutan siswa berprestasi oleh pemerintah dan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik Yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan Bakat Minat Istimewa. Tidak sekadar masuk tes, namun telah pula diatur agar pemerintah dan pemerintah daerah memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi hingga mereka tanpa hambatan menamatkan pendidikannya. Di level perguruan tinggi, kemudahan tersebut telah diberikan oleh Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Mengenai penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran 2008/2009, Suyanto menambahkan, kewenangan dan aturan pelaksanaan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Namun, dalam proses penerimaan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional mengimbau agar pelaksanannya penerimaan siswa baru itu tidak bertentangan dengan aturan yang ada. "Sebagai contoh, sekolah tidak boleh memungut uang formulir pendaftaran untuk jenjang SD dan SMP sederajat karena itu termasuk dalam dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS. Uang pangkal atau dana sumbangan untuk investasi harus dirundingkan oleh sekolah, komite sekolah dan orangtua murid serta harus ada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah atau RAPBS," ujarnya


Tidak Lulus UASBN, 12 Siswa Ikuti UNPK

Selasa, 1 Juli 2008 | 21:16 WIB

BANDUNG, SELASA - Sebanyak 12 siswa sekolah dasar formal yang tidak lulus ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN di Provinsi Jawa Barat terpaksa pindah jalur. Mereka mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK Paket A sejak Selasa (1/7) untuk mengejar ijazah kelulusan.

Berdasarkan data dari Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Disdik Provinsi Jabar, peserta pindah jalur (tidak lulus UASBN) UNPK periode I-2008 ini berasal dari enam daerah, yaitu Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Sumedang, dan Kota Bandung. Terbanyak dari Bogor, yaitu 12 orang.

Menurut Asep Suhanggan dari Subdin PLS Disdik Jabar, kemarin, peserta pindah jalur yang ikut UNPK Paket A ini belumlah tentu mencerminkan seluruh ketidaklulusan UASBN di Jabar. Bisa saja karena persoalan sosialisasi. Semuanya (tidak lulus) belum ikut, ucapnya. Total siswa SD yang ikut UASBN lalu di Jabar sebanyak 815.415 orang. Jadi, yang pindah jalur ini terbilang sedikit.

Adapun peserta UNPK Paket A dari reguler (non formal) sebanyak 12.355. Jauh lebih banyak dari peserta pindah jalur. Sementara, pe serta UNPK Paket B (setara SMP) sebanyak 49.757. Sebanyak 5.980 diantaranya peserta pindah jalur. Asep meyakini, ujian kesetaraan ini diikuti lebih dari 90 persen siswa yang tidak lulus ujian nasional di sekolah formal. Ujian Paket A dan B ini dilakukan bersamaan hingga tiga hari ke depan.

Demi pelayanan maksimal kepada peserta didik, hingga beberapa jam menjelang pelaksanaan ujian kemarin, panitia masih menerima pendaftaran peserta. Kemarin pagi, tercatat empat peserta baru terdaftar se-Jabar. Mereka berasal dari Kabupaten Bogor dan Cianjur. Karena mereka gagal UN , kami terima. Untuk mereka ini dimaklumi. Apalagi, bisa saja karena persoalan jarak atau informasi, mereka terlambat mendaftar, ujarnya. Di ketentuan, padahal, pendaftaran hanya hingga 28 Juni lalu.







Banyak Pelajar Tak Ikut UN Susulan

Motivasi Belajar Kurang

Selasa, 29 April 2008 | 12:18 WIBTidak Lulus UASBN, 12 Siswa Ikuti UNPK



YOGYAKARTA, KOMPAS - Banyak pelajar SMA/SMK tak ikut ujian nasional susulan di hari pertama, Senin (28/4). Sebagian dari mereka mengundurkan diri karena sudah tidak mengikuti pelajaran sejak beberapa bulan terakhir.

Di SMKN 3 Yogyakarta, empat orang peserta didik tidak mengikuti UN susulan. "Dua siswa memang sudah mengundurkan diri dari sekolah, dua siswa lainnya yang sebenarnya sudah jarang masuk sekolah masih kami tunggu untuk ikut UN susulan. Namun, ternyata juga tidak datang," tutur Wakil Kepala Urusan Kurikulum SMKN 3 Yogyakarta Supriyadi HW.

Satu dari dua siswa SMA Pembangunan Yogyakarta akhirnya mengikuti UN susulan setelah didorong oleh pihak sekolah. Kepala SMA Pembangunan Yogyakarta Maruli Taufiq mengungkapkan, dua siswanya yang tidak hadir pada UN utama pekan lalu itu sudah jarang mengikuti pelajaran di sekolah.

"Motivasi belajar mereka memang kurang. Kami sudah berusaha intensif mendatangi siswa dan orangtua ke rumahnya," tutur Maruli.

Di SMAN 3 Yogyakarta, sebagai tempat ujian bagi 14 sekolah Subrayon I, empat siswa peserta UN tidak masuk di hari pertama UN susulan. Satu siswa sudah diinformasikan sekolah bersangkutan tidak bisa ikut UN karena menjalani pertukaran pelajar ke luar negeri.

"Sementara itu, dua siswa lain mengundurkan diri, seperti informasi pihak sekolah. Satu di antara dua siswa itu dikatakan sudah bekerja. Satu siswa lagi, kami belum dapat informasi dari sekolahnya," ucap Jumiran, selaku Sekretaris Subrayon I.

Di Kota Yogyakarta, UN susulan hari pertama hanya diikuti oleh empat siswa SMA dan 11 siswa SMK. Jumlah peserta yang terdaftar mengikuti UN susulan sebanyak 24 siswa SMA dan 51 siswa SMK. Di Kulon Progo, UN susulan hanya diikuti oleh dua peserta dari keseluruhan 39 peserta yang terdaftar. Beri kesempatan

Terkait rendahnya partisipasi peserta UN susulan ini, Ketua Penyelenggara UN DIY K Baskara Aji menyampaikan sekolah umumnya mendaftarkan siswanya yang tidak lulus UN tahun lalu untuk mengikuti UN tahun ini. Meski sebagian di antara mereka sudah lulus ujian kesetaraan Paket C, sekolah tetap memberi kesempatan mengikuti UN untuk memperoleh ijazah. Hanya saja, umumnya siswa tak lagi ingin mengikuti UN ketika sudah bekerja dan mengantongi ijazah Paket C.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya di DPRD DIY mengingatkan agar para guru jangan hanya memotivasi belajar siswa hanya sekadar untuk lulus UN. "Kalau sudah menguasai pengetahuan sesuai kompetensinya, siswa akan siap diuji kapan pun. Tidak takut kalau tidak lulus," ujarnya. (DYA/YOP/WER/PRA/RWN)



APSI Lamongan Dikukuhkan

Rabu, 20 Februari 2008 | 17:34 WIB

LAMONGAN, RABU- Sebanyak 21 orang pengurus Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia atau APSI Lamongan Periode 2007-20012, Rabu (20/2), dikukuhkan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Rasiyo. Pengurus APSI Lamongan dipilih dalam musyawarah daerah pada 4 September 2007 dengan Ketua Kusnowo dan Sekretaris Makhdumah Fadeli.

Wakil Bupati Lamongan Tsalits Fahami Zaka menuturkan 99 persen pendidikan dilihat dari sisi kuantitas pengajaran telah berhasil, terbukti dengan berbagai prstasi yang diraih di bidang pendidikan. Namun dari segi kualitas masih menjadi tanda tanya besar bagi semua pihak untuk instrospeksi.

"Mendidik jauh lebih sulit dari mengajar. Saat ini kemaksiatan semakin dekat dengan anak didik. Lewat telepon genggam, segala kemaksiatan diserap oleh siswa, dari sinilah saya mengharap pengawas mengambil peranan," kata Tsalist.

Jatim Rintis Wajar 12 Tahun

Sementara Kepala Dinas Pendikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo mengatakan, wajib belajar (wajar) 9 tahun di Jawa Timur telah mencakup 99,67 persen anak didik. Keberhasilan tersebut dikhawatirkan menimbulkan ledakan lulusan siswa tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan sederajat.

Rasiyo menambahkan Provinsi Jatim akan merintis program wajar 12 tahun, dan baru satu-satunya program rintisan di Indonesia. Upaya tersebut juga sejalan dengan Undang-undang Ketenagakerjaan yang melarang perusahaan dan industri merekrut pekerja di bawah u mur atau kurang dari 18 tahun. Upaya mensukseskan program itu telah disiapkan anggaran bantuan kepada 333.000 peserta didik tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan sederajat.

Jumlah tersebut mencakup 30 persen dari 1,1 juta peserta didik tingkat SLTA dan sederajat di Jatim. Peserta didik utamanya dari keluarga kurang mampu akan menerima bantuan Rp 65.000. Bantuan itu disampaikan langsung lewat lembaga pendidikan masing-masing , kata Rasiyo.

Program ini sebagain besar akan diperuntukkan bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), perbandingannya 60 persen bantuan untuk siswa SMK dan 40 persen untuk siswa SMA. Propori SMK lebih diutamakan dengan harapan siswa dari keluarga miskin tersebut akan memiliki keahlian sehingga langsung bisa bekerja. Jika diberikan pada lulusan SMA, jika setelah lulus tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi akan percuma, mereka tidak bisa memasuki dunia kerja, jelas Rasiyo.

Dia memaparkan Pemerintah Provinsi Jawatim telah merehab 5.537 lembaga pendidikan dengan menghabiskan Rp 1,5 triliun. Selama 2007, Pemprov Jatim juga telah memberi beasiswa kepada 26.000 guru untuk menempuh pendidikan Diploma IV (D-4) dan Sarjana (S-1) de ngan anggaran Rp 26 miliar. Pada 2008, telah dianggarkan beasiswa untuk 32.000 guru masing-masing Rp 2 juta setahun. (ACI)



sumber:www.kompas.com



Pencairan Dana BOS Telat

Minggu, 6 Juli 2008 | 19:44 WIB

JAKARTA, MINGGU - Pencairan dana bantuan operasional sekolah atau BOS periode triwulan Juli - September belum juga diterima sekolah-sekolah. Akibatnya, sekolah kebingungan mencari dana, padahal dana itu dibutuhkan untuk proses pendaftaran siswa baru.

Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, di Jakarta, Minggu (6/7) malam, mengatakan pencairan dana BOS terlambat karena menunggu revisi dari Departemen Keuangan terkait tidak adanya pemotongan dana BOS sebagai langkah pemerintah dalam penghematan anggaran akibat naiknya BBM. Pencairan dana BOS untuk triwulan Juli - September 2008 terlambat sekitar seminggu dari jadwal biasa, namun mulai pekan ini pemerintah provinsi sudah bisa mengurus pengajuan pencairan dana BOS.

"Dalam pembahasan Depdiknas dengan DPR, dana BOS disetujui untuk tidak dipotong. Sebelumnya ada usulan untuk dipotong sebagai langkah penghematan pemerintah untuk mengantisipasi naiknya BBM. Karena tidak jadi, Departemen Keuangan harus merevisi DIPA jika dana BOS triwulan ketiga ini tidak ada pemotongan. Terlambatnya karena menunggu revisi itu saja. Dana BOS itu tetap ada, jadi sekolah tidak perlu khawatir," kata Suyanto.

Menurut Suyanto, masih banyak pemerintah daerah hanya mengandalkan dana BOS dari pemerintah pusat dalam pembiayaan pendidikan di sekolah-sekolah di daerah mereka. Akibatnya, sekolah-sekolah menjerit jika kucuran BOS terlambat dicairkan karena sekolah tidak punya dana cadangan dari pemerintah daerah.

"Masyarakat di daerah perlu kritis juga terhadap kampanye pendidikan gratis yang dilakukan calon gubernur, walikota, atau bupati di daerahnya. Sebab, kampanye pendidikan gratis itu sering hanya mengandalkan dana BOS, tanpa ada tambahan dana lagi dari anggaran daerah. Padahal dana BOS itu saat ini baru cukup untuk sepertiga dari biaya operasional sekolah yang ideal," kata Suyanto.

Dana BOS yang diberikan untuk siswa SD dan SMP itu antara lain untuk membiayai kegiatan belajar dan mengajar di sekolah sehingga tidak ada lagi pembayaran iuran bulanan, pendaftaran siswa baru, buku, dan honor guru sukarelawan.


Anggaran Pendidikan Naik, Utang Naik



Jumat, 15 Agustus 2008 | 15:45 WIB

JAKARTA, JUMAT - Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 persen ternyata seiring dengan meningkatnya defisit anggaran 2009. Dapat diasumsikan, ambisi pemerintah memenuhi konstitusi tersebut dipenuhi dengan cara berutang. Hal ini diungkapkan oleh anggota Komisi XI dari Fraksi PAN Dradjad Wibowo usai keterangan pers sejumlah partai menanggapi pidato kenegaraan presiden di Jakarta, Jumat (15/8).

Menurut Dradjad, persetujuan pemerintah terhadap kenaikan anggaran pendidikan sebesar Rp 46,1 triliun ternyata diikuti kenaikan defisit anggaran mencapai Rp 99,6 triliun atau 1.9 persen dari Produk Domestik Bruto. Sementara itu, dalam nota keuangannya, SBY mengatakan defisit anggaran rencananya akan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun.

"Kenaikan defisit itu tidak lepas adanya keinginan untuk memenuhi APBN pendidkan 20 persen. Jadi, defisit ini akan dibiayai melalui SUN. Saya rasa SUN nanti realisasinya bisa nanti Rp 140-150 triliun," ujar Dradjad.

Sementara itu, Ketua Panitia Anggaran Emir Moeis mengakui bahwa peningkatan 46.1 triliun dalam anggaran pendidikan belum dibicarakan secara khusus oleh pemerintah kepada DPR. "Hanya lewat SMS dari Menkeu," ujar Emir.

Emir mengharapkan jikalau peningkatan anggaran pun disetujui, pembiayaannya bukan dilakukan dengan menambah utang, namun dengan mengoptimalkan pos-pos penerimaan yang lain. "Jadi, jangan adalah perasaan semacam gapang ngutang," tandas Emir.


LIN



Pendidikan Dasar Gratis Butuh Dana Rp 157 Triliun

Kamis, 21 Agustus 2008 | 20:06 WIB

JAKARTA, KAMIS - Pendidikan dasar gratis bermutu yang menjadi prioritas utama program pemerintah harus terpenuhi dengan adanya kebijakan menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009. Pembiayaan pendidikan dasar yang memenuhi standar nasional tanpa memungut biaya kepada masyarakat itu dihitung membutuhkan dana sekitar Rp 157 Triliun.

"Pendidikan dasar gratis seharusnya tidak lagi jadi keluhan masyarakat. Dengan anggaran pendidikan nanti yang mencapai Rp 224 Triliun, pendidikan di tingkat SD dan SMP tanpa pungutan lagi. Pemerintah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan dasar sembilan tahun di mana warga usia wajib belajar tidak membayar atau tidak dipungut biaya oleh penyelenggara/sekolah," kata Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam diskusi bertajuk Memilih Prioritas Memenuhi Hak Rakyat Memperoleh Pendidikan Bermutu yang diadakan Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina di Jakarta, Kamis (21/8).

Dari perhitungan Abbas yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini, pendidikan dasar gratis di tingkat SD dan SMP membutuhkan biaya Rp 157,22 Triliun. Penghitungan biaya tersebut sudah mencakup biaya operasional dan investasi pendidik dan tenaga kependidikan, biaya operasional dan investasi sarana dan prasarana, serta biaya operasional bahan habis pakai dan alat aus pakai.

Abbas mengatakan anggaran pendidikan dasar itu setidaknya bisa memenuhi layanan pendidikan dasar yang hampir mencapai standar nasional pendidikan yang ditetapkan BSNP. Pada tahun 2008, perkiraan dana pendidikan dasar berkisar Rp 137,3 Triliun. Sisa dana anggaran pendidikan dipakai untuk meningkatkan layanan pendidikan menengah, tinggi, dan nonformal.

Utomo Dananjaya, Direktur IER Universitas Paramadina, mengatakan jika pemerintah punya pilihan strategi pendidikan yang baik, peningkatan anggaran 20 persen itu akan efektif dan harapan perbaikan pendidikan nasional bisa terwujud.

"APBN itu kan uangnya juga dari pajak masyarakat. Kenaikan anggaran pendidikan yang pertama kali mencapai 20 persen itu jangan dilihat sebagai kebaikan pemerintah karena memang seharusnya dikembalikan lagi dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat yang baik. Departemen Pendidikan harus mendasarkan penggunaan dana itu pada penelitian yang kuat, bukan berdasarkan kepentingan politis," kata Utomo.