Sabtu, 18 April 2009

PLK Cari Siswa Putus Sekolah

Senin, 13 April 2009 | 11:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan disebabkan, antara lain, karena kemiskinan, anak-anak yang menjadi pekerja, anak-anak yang tinggal di daerah terpencil atau terasing. Anak-anak tersebut bisa mengikuti program PLK yang diselenggarakan masyarakat setempat dengan bantuan pendanaan dari pemerintah.

Seperti di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, siswa yang putus sekolah pendidikan dasar tercatat 2.000 orang. Tapi, dari siswa yang putus sekolah itu baru bisa ditampung di PLK yang baru dirintis awal tahun 2009.

Menurut Wakil Bupati Gresik, Sastro Soewito, PLK di Bawean merupakan program baru yang dikembangkan di Gresik. Masih ada anak-anak di Bawean yang tidak bisa sekolah dan sekolah pun sulit dijangkau.

”Bawean ini terkenal sebagai pulau dengan 99 pegunungan. Jarak dari rumah ke sekolah bisa mencapai 20 kilometer. Sangat sulit ke sekolah, karena belum ada jalan-jalan yang memadai”, kata Sastro di Pulau Bawean, Sabtu (11/4).

Selain itu, listrik di pulau itu belum sepanjang hari bisa dinikmati, melainkan hanya setengah hari dari pukul 17.00 hingga 10.00. ”Tapi PLN lebih sering mati daripada hidup,” katanya lagi.

Sumiyati (13), salah satu peserta PLK di Pulau Bawean, sekitar setahun ini tidak bersekolah lagi di SMP, karena orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Namun, dua bulan terakhir ini dia kembali bisa belajar di PLK. Sumiyati belajar matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan komputer.

”Seperti pisau, kalau tidak sering dipakai akan karatan, saya tidak mau seperti itu. Saya ingin terus belajar,” ucap Sumiyati.

Saat ini anak-anak yang belum bisa mengikut pendidikan di sekolah, antara lain anak-anak yang menghuni lembaga pemasyarakatan 2.000-an anak, pekerja anak 2,6 juta, dan anak-anak di daerah transmigrasi 15.000 anak.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ekodjatmiko Sukarso mengatakan, PLK dibentuk oleh masyarakat. Terutama masyarakat yang peduli pendidikan anak dengan menyediakan ruang belajar dan mencari siswa putus sekolah. Sedangkan pemerintah memberi honor guru, misalnya honor guru PLK Rp 55.000 untuk satu kali pertemuan belajar dengan siswa.

Dia menjelaskan, siswa yang belajar di PLK tidak memerlukan seragam, ruang belajar pun fleksibel. ”Belajar bisa di mana saja, di bawah pohon atau di pinggir pantai”, ucapnya. Ekodjatmiko berharap, dengan program PLK bukan mustahil bisa menemukan ”mutiara” yang bisa dibanggakan. (Warkot/Intan Ungaling)

sumber:www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar