Minggu, 12 April 2009

PTN dan Komersialisasi Pendidikan

Selasa, 4 Maret 2008 | 02:15 WIB

Teuku Kemal Fasya

Ide pendirian Badan Hukum Pendidikan atau BHP kembali mencuat. Namun, reaksi negatif ditunjukkan sivitas akademika atas upaya pengubahan perguruan tinggi negeri menjadi BHP.

Aksi besar-besaran mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, menolak konsep BHP beberapa waktu lalu menjadi sinyal, ini bukan solusi tepat memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan. BHP adalah aroma baru bagi komersialisasi pendidikan tinggi.

Mitos otonomi

Rencana pembentukan BHP merupakan penajaman konsep yang lebih dahulu bergulir, yaitu perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang dianggap ”berhasil” memandirikan pengelolaan kampus. Anehnya, rancangan undang-undang PT BHMN yang bergulir sejak pemerintahan Megawati tidak kunjung disahkan.

Yang terbaca dalam fungsi praksis RUU, lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional dengan memberi keleluasaan BHP mencari jejaring modal lain yang bersedia membiayai, baik dalam maupun luar negeri (Pasal 2 alternatif). Dua sisi keping mata uang dari fungsi PT BHMN dan postur BHP dapat terbaca dalam RUU BHP. PT BHMN otomatis akan menjadi BHP jika rancangan itu disahkan DPR {Pasal 55 (1) RUU BHP}.

Sisi ”jualan” pendidikan nasional seakan telah dinaturalisasi negara. Sistem pendidikan nasional yang dikembangkan sejak masa Daoed Joesoef, dilanjutkan pengembangan aspek link and match yang menegosiasikan tujuan pendidikan dan pasar kerja, memungkinkan pendidikan tidak mengarah pada tujuan kritis (critical sciences), tetapi pragmatis.

Akan tetapi, konsep BHP kian mengarah pada titik ekstrem. Bukan hanya dunia kerja yang komersial, melainkan institusi pendidikan pun menjadi pasar. Padahal, institusi pendidikan harus jauh dari semangat pasar. Ia harus berdiri sebagai ”blok historis” yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putri terbaik yang mampu membaca tanda- tanda zaman.

Pembentukan BHP (seperti fenomena di UGM dan UI ) telah membuka kesempatan bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Melalui jalur non-SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru), kian banyak mahasiswa borjuis berkemampuan rendah bisa masuk kampus elite (BHMN) dan menyisihkan mahasiswa cerdas yang secara ekonomis kurang mampu.

Konsep otonomi telah diterjemahkan secara superfisial. Otonomi pendidikan seharusnya dirakit untuk merumuskan kurikulum dan kekhasan intelektual (berbasis lokal dan kompetensi), tetapi malah menjadi alat politis dan mesin ekonomi. Rengkuhan ekonomis tentu mengimpit sisi penting pendidikan (kultural, spiritual, mental) karena kalkulasinya berdasar prinsip manajemen korporatis, bukan ilmiah.

Maka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan upaya mem- BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, minimal 50 persen hingga tahun 2009 menjadi kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi {Pasal 4 (1) UU No 20/2003}.

Pengalihan tanggung jawab

Upaya pengesahan RUU BHP merupakan pelanggaran fundamental pedagogi, yaitu pendidikan sebagai kebaikan bagi semua orang (bonum commune). Pendidikan, seperti kata Paulo Freire, harus menjadi praksis yang membebaskan, termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan.

Ada tuduhan, pembentukan BHP dikhawatirkan memberi kesempatan resmi menyisipkan aroma politis lain yang bisa digunakan pimpinan kampus guna melanggengkan kepentingan.

Maraknya pemeriksaan dan pengusutan rektor PTN yang ditengarai menyelewengkan anggaran pendidikan menjadikan konsep BHP sebagai ”pelarian paling sempurna” dari endusan BPK, BPKP, inspektorat, dan kejaksaan. Perguruan tinggi BHP tak bisa digugat pengelolaan anggarannya karena bukan institusi negara, melainkan institusi publik. Pertanggungjawaban beralih dari Mendiknas ke Majelis Wali Amanat (MWA).

Dengan kultur paternalistik yang masih kental, rektor dengan mudah mengintervensi MWA. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rektor. Sivitas akademika hanya pasir dan kayu tumbuk organisasi pendidikan dan pengajaran tanpa hak mengontrol kebijakan kampus.

Sebagai pengajar di sebuah PTN muda dari daerah yang masih miskin akibat konflik dan bencana, penulis tak siap melihat nasib lembaga pendidikan menjadi firma tanpa semangat kekeluargaan sivitas akademika.

Teuku Kemal Fasya Ketua Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe

sumber:www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar