Sabtu, 18 April 2009

Robohnya "Sekolah" Kami

Jumat, 2 Mei 2008 | 00:20 WIB

tonny d widiastono

Hari Pendidikan Nasional kali ini kita peringati dengan suasana prihatin. Penetapan Hari Pendidikan Nasional menggunakan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, Menteri Pengajaran pertama, Bapak Pendidikan Indonesia.

Seandainya Ki Hadjar Dewantara masih sugeng dan melihat pendidikan di Indonesia kini, mungkin ia akan mengernyitkan dahi.

Kita prihatin melihat banyak gedung SD yang rusak. Data dari Depdiknas sebagai hasil Rembugnas Pendidikan Juni 2007 menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas yang rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai program 2008. Kebanyakan ruang kelas SD yang rusak itu ada di Pulau Jawa, 52 persen (276.695 unit).

Kisah pilu di balik kerusakan ruang kelas banyak dimuat media. Kita sedih saat 28 Maret 2003, Dicky Bastian (7), murid SD Negeri 2 Cangkring, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, meninggal dunia tertimpa atap gedung sekolah. Tanggal 27 Maret, 20 siswa kelas II A SD Pasundan III, Bandung, yang sedang belajar di kelas tertimpa atap ruang kelas. Itu sedikit dari banyak contoh.

Runtuhnya ruang kelas yang melukai siswa tentu memilukan. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan fisik dan psikologis serta gedung sekolah yang seharusnya memberi rasa aman dan nyaman ternyata menjadi ancaman yang tidak hanya memupus cita-cita, tetapi juga bisa mencabut nyawa.

Saat mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa, 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara menghendaki agar sekolah menjadi taman, tempat mekarnya bunga-bunga bangsa, tempat memupuk semangat nasionalisme, serta memacu kerja keras dan pantang menyerah, dengan dasar kasih sayang.

Atas kerusakan ruang-ruang kelas ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berjanji, dalam tiga tahun ke depan semua bangunan sekolah yang bobrok sudah selesai direnovasi (Kompas, 3/5/2005). Kini kita hidup pada tahun 2008, tetapi ruang kelas yang rusak masih banyak. Jangankan sekolah bobrok di seluruh Indonesia sudah selesai direnovasi, di Jakarta pun masih banyak ruang kelas yang rusak.

Nasib guru

Ihwal guru, mereka berperan penting dalam pendidikan. Namun, pernahkah kita memerhatikan bagaimana menyiapkan guru. Harapan akan guru berkualitas selalu mencuat. Namun, itu semua terhenti di ruang diskusi dan sebatas wacana. Seolah masalah sudah terurai saat masalah itu dibicarakan.

Selain tidak disiapkan secara matang, kini menjadi guru adalah karena kondisi, bukan karena ”panggilan”.

Meski harapan kepada guru setinggi langit, penghargaan kepada mereka amat rendah. Beruntunglah mereka yang sudah diangkat menjadi guru tetap. Meski gajinya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka tetap ada pemasukan tiap bulan.

Namun, bagaimana dengan nasib guru honorer? Harian ini berkali-kali melaporkan, betapa rendahnya penghargaan kepada mereka. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun hanya ”dihargai” Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan. Jumlah tersebut jauh di bawah upah minimum regional atau upah minimum provinsi.

Keadaan ini memaksa para guru honorer hidup serba kekurangan. Dengan penghasilan yang minim, jangankan mereka bisa menyekolahkan anaknya sendiri, untuk makan sehari-hari pun sudah terasa amat sulit. Dalam kondisi serba kekurangan, para guru honorer ini masih sering dituntut melebihi kemampuannya.

Harapannya, hal yang perlu segera dibenahi adalah memanusiakan para guru honorer atau guru kontrak. Bagaimanapun, guru adalah profesi. Namun, bagaimana mungkin tugas mendidik, membentuk, dan menyiapkan manusia diserahkan kepada guru honorer? Guru adalah pencipta masa depan bangsa. Pertanyaannya, di negeri mana pendidik hanya dikontrak?

Lembaga pelatihan

Banyak pihak menyadari, sekolah adalah lembaga pendidikan, tempat penanaman nilai-nilai, baik nilai cinta kasih, solidaritas, maupun kreativitas. Namun, fungsi sekolah sebagai penyemai nilai-nilai dan tempat untuk menyiapkan masa depan anak bangsa kini mengalami degradasi.

Hadirnya ujian nasional (UN) yang dikeluhkan banyak pihak tidak ”nyambung” dengan kondisi nyata di sekolah, membuat suasana pendidikan berubah.

Beberapa bulan menjelang UN banyak sekolah beralih fungsi menjadi lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang hanya mengajarkan pelatihan soal. Fenomena tahunan ini terus terulang. Bimbel menjamur dan para pengelola kian gencar memasarkan jasanya. Anehnya, sekolah menyambut para penjual jasa dengan tangan terbuka.

Hasilnya, gaya belajar drill dan try out berjangkit. Cara ini dianggap paling cocok dan ampuh menghadapi UN, baik untuk siswa kelas IX (SMP) dan kelas XII (SMA). Dengan cara itu, siswa seperti terbelenggu oleh target, harus lulus.

Pertanyaannya, inikah cara kita mendidik calon pemimpin? Padahal, menurut Ki Hadjar, substansi pendidikan adalah upaya memerdekakan manusia. Mampukah drill membebaskan siswa?

Entahlah. Namun, inilah gambaran nyata robohnya sekolah dari tugas utamanya.

sumber:www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar