Minggu, 12 April 2009

Putar Otak Siasati Terbatasnya Dana BOS

Senin, 21 April 2008 | 00:28 WIB

Kucuran dana bantuan operasional sekolah atau BOS memang mampu melegakan masyarakat meskipun belum sepenuhnya menggratiskan pendidikan. Namun, sejak dikucurkan pemerintah, Juli 2005, hingga saat ini masih banyak persoalan pengucuran dana BOS di daerah yang perlu diperbaiki.

Bagi sebagian besar kepala sekolah, pemberitahuan jika dana BOS sudah bisa dicairkan menjadi saat yang dinanti-nantikan karena mampu membuat mereka bernapas lega. Inilah saat untuk mengembalikan pinjaman atau utang kepada pihak lain, bahkan uang pribadi, saat dana BOS telat cair.

Keterlambatan pengucuran dana BOS ke sekolah-sekolah bukan lagi cerita baru. Keterlambatannya bisa mencapai enam bulan atau lebih, yang membuat pihak sekolah, khususnya kepala sekolah, pontang- panting mencari dana talangan supaya kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak terhenti.

Bagaimana kepala sekolah dan guru tidak harus memutar otak. Sebab, dana BOS yang besarnya Rp 254.000 per tahun untuk setiap siswa SD dan Rp 354.000 per tahun untuk setiap siswa SMP, serta BOS buku Rp 22.000/siswa kini memang menjadi andalan utama pembiayaan di sekolah.

”Sejak ada BOS, pungutan dari siswa kan tidak boleh lagi. Bantuan dari pemerintah daerah juga tidak ada. Sekolah ya bisa berjalan karena dana BOS,” kata Ahmad, Kepala SDN Cibeber 5, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Utang dulu

Dengan sistem pencairan dana BOS pada akhir triwulan, terpaksa untuk kebutuhan membeli alat tulis, membiayai kegiatan siswa, hingga membayar gaji honor para guru sukarelawan harus ditutupi dari pinjaman atau utang dulu.

”Menalangi dari uang sendiri jika memang ada atau terpaksa mencari pinjaman sudah jadi kebiasaan saya saat menunggu BOS cair,” kata Ahmad.

Dengan dana BOS yang terbatas itu, tak ada yang namanya perpustakaan dengan buku-buku cerita yang mampu menggugah minat baca anak. Keberadaan laboratorium IPA saja masih menjadi mimpi.

Suprihatin, Kepala SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengalami hal serupa dalam menyiasati penggunaan dana BOS. ”Saya lebih banyak memakai uang pribadi dulu,” katanya.

Alokasi dana BOS senilai Rp 7,8 juta per tiga bulan untuk 124 siswa itu sebenarnya jauh dari cukup untuk membiayai kegiatan belajar di sekolah yang masuk kategori di daerah terpencil ini. Penggunaannya terutama untuk membayar empat gaji guru sukarelawan yang totalnya Rp 500.000 per bulan, membeli alat tulis, hingga membayar iuran kegiatan siswa.

Sekolah mencoba untuk melengkapi alat-alat olahraga. ”Karena dananya minim, saya menyiasati dengan membeli bola bekas,” kata Suprihatin.

Jika ada kegiatan lomba buat siswa, demi menghemat pengeluaran, para siswa harus berjalan kaki sekitar 8 kilometer hingga ke jalan raya terdekat. Lokasi sekolah dan tempat tinggal siswa memang berada di daerah yang infrastruktur jalannya belum ada dan tidak ada listrik.

Tak ada dana

Yustina Minda, Kepala SD Negeri Roworena II, Ende, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, sebenarnya sekolah hendak membantu membeli alat-alat tulis, seragam, dan sepatu bagi siswa yang benar-benar miskin. Sebab, mereka memang tidak mampu untuk membeli, padahal seragam dan sepatu yang dipakai siswa saat ini sudah tidak layak pakai. Namun, niat itu tidak bisa diwujudkan karena tidak ada dana.

”Dana BOS benar-benar minim, hanya untuk keperluan operasional sekolah,” katanya.

Atas kesepakatan komite sekolah, pihak sekolah memutuskan memungut iuran Rp 2.000 per bulan bagi setiap siswa sebagai dana cadangan jika sewaktu- waktu dana BOS tak mencukupi.

Dari pantauan Kompas di daerah-daerah pedesaan hingga daerah terpencil di Banten dan Jawa Barat, alokasi dana BOS yang disamakan dengan di perkotaan terasa tidak memadai. Apalagi dana BOS dikucurkan sesuai jumlah siswa. Di daerah pedesaan yang biaya transportasinya tinggi, dana BOS itu akhirnya menjadi sangat minim.

Penyaluran dana BOS yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan lokasi sekolah, terutama untuk di daerah pedesaan dan daerah terpencil, sebenarnya sudah diwacanakan. Namun, pemerintah masih belum mengubah kebijakannya. Alokasi dana BOS tahun 2008 senilai Rp 11,54 triliun itu masih diberikan dengan besaran yang sama untuk setiap siswa.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, kebijakan pengucuran dana BOS yang seragam tidak efektif membantu pembiayaan pendidikan siswa dan sekolah karena ada sekolah yang kelebihan, tetapi juga banyak yang kekurangan dana operasional pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, manfaat dana BOS sangat dirasakan masyarakat. ”BOS telah membebaskan 70,3 persen murid SD dan SMP dari pungutan biaya operasional dan semua siswa miskin bebas dari pungutan,” kata Bambang. (ESTER LINCE NAPITUPULU)

sumber:kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar