Senin, 16 Maret 2009

Gresik Resmikan Sarana Pendidikan Senilai Rp 17,6 Miliar

Rabu, 4 Juni 2008 | 16:31 WIB

GRESIK, RABU- Bupati Gresik Robbach Ma'sum, Rabu (4/6), meresmikan 396 sarana pendidikan yang tersebar di 69 sekolah negeri dan 330 lembaga pendidikan swasta. Sarana pendidikan termasuk gedung sekolah, laboratorium, dan taman pendidikan Al Quran didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gresik senilai Rp 17,6 miliar. Penandatanganan prasasti dipusatkan di Aula Sunan Giri SMA Negeri 1 Gresik.

Robbach berharap, seluruh sarana yang dibangun bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin dan sumber daya pendidik lebih ditingkatkan. Para kepala sekolah harus selalu memperbaiki manajemen pendidikan di sekolah masing-masing. "Kalau perlu metode dalam mempersiapkan materi pendidikan setiap guru selalu diperbaiki, jangan sampai tetap seperti zaman dulu," kata Robbach.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik Husnul Khuluq menambahkan, kualitas pendidikan di Gresik saat ini lebih baik dibanding kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007 biaya pendidikan yang dikeluarkan dari APBD sebesar Rp 77,216 miliar atau 22,5 persen dari APBD. "Jumlah tersebut tidak termasuk gaji guru sehingga Gresik menganggarkan pendidikan lebih dari 20 persen sebagaimana amanat undang-undang," kata Khuluq.

Menurut dia, biaya yang besar serta pembangunan sarana dan prasarana yang telah dianggarkan oleh APBD harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. "Yang terpenting keterjangkauan pendidikan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Jangan sampai ada anak orang tidak mampu tidak sekolah atau tak mampu membayar sekolah di Gresik," katanya.


sumber:www.kompas.com


Pendidikan Pesantren Masih Terdiskriminasi

Sabtu, 16 Februari 2008 | 16:37 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Pondok pesantren masih mengalami diskriminasi dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, sebagai lembaga pendidikan alternatif, pesantren memiliki peran strategis dalam ikut mendidik dan mencerdaskan bangsa.

Hampir seabad kebangkitan nasional dan lebih 62 tahun negara ini merdeka masih terjadi diskriminasi pendidikan pada pesantren, masyarakat yang ada di pesantren pun terdiskriminasi sistem pendidikan, ujar Nasruddin Anshoriy Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri, Bantul, Yogyakarta dalam seminar Menyambut Seabad Kebangkitan Nasional dengan Tema Pesantren dan Masa Depan Kebangkitan Nasional, , Sabtu (16/2) di Ndalem Joyokusuman, Yogyakarta.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Gunawan (anggota Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY), Hafidh Asrom (anggota Dewan Perwakilan Daerah DIY).

Diskriminasi itu tejadi antara pendidikan formal dengan pendidikan pondok pesantren. Menurut Nasruddin , dari sisi anggaran dan kebijakan terjadi ketimpangan sangat tajam di antara pendidikan formal dan pesantren. Perhatian pemeritah terhadap pesantren lebih kecil dibandingkan pendidikan formal. Pengelolaan pun ma sih dibedakan yaitu pendidikan formal di bawah departemen Pendidikan Nasional sedangkan ponpes di bawah Departemen Agama. Mayoritas anggaran pendidikan larinya ke pendidikan formal, ujarnya.

Meski demikian, pesantren tidak perlu kecil hati karena justru tetap bisa independen mengelola pendidikannya. Namun tetap memperjuangkan kesetaraan. Di sisi lain, pondok pesantren perlu merevolusi diri membuat perubahan moral bangsa. Peran kyai ulama sekarang melemah karena banyak berorientasi pada kepartaian, masuk pada hegemoni kekuatan politik dan struktural, ujarnya.

Hafidh menghungkapkan, pesantren tidak hanya berperan sebagai pendidikan agama Islam, tetapi juga berperan dalam membangun wawasan kebangsaan dan berperan penting dalam mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Sudah saatnya pesantren memperbarui sistem kurikulum yang berorientasi keahlian para santrinya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar pendidikan pesantren, ujarnya. (RWN)

Kurikulum Harusnya Bisa Prediksi SDM Masa Depan

Kamis, 20 November 2008 | 18:46 WIB

BANDUNG, KAMIS — Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini diterapkan perlu dievaluasi. Idealnya, kurikulum itu juga mampu memprediksi kebutuhan tenaga kerja di masa depan seperti halnya diterapkan di Malaysia dan sejumlah negara maju lainnya.

Demikian pokok pemikiran yang muncul dalam Seminar Pengembangan Model Evaluasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kamis (20/11) di Gedung JICA Universitas Pendidikan Indonesia. Hadir pembicara pakar kurikulum dari UPI, Universiti Malaya, Malaysia, dan Pusat Kurikulum Depdiknas RI.

Said Hamid Hasan, pakar kurikulum UPI, mengatakan, kurikulum adalah suatu hal yang bersifat dinamis. Menyesuaikan kebutuhan dan tren zaman. "Untuk itu, tidak ada salahnya kurikulum tiap periode disesuaikan. Kalau ganti menteri tidak ganti kurikulum, itu namanya menteri bodoh," ucapnya.

Hanya, kurikulum itu hendaknya tidaklah sekedar menitikberatkan aspek kognitif, apalagi yang sifatnya hanya ingatan dan komprehensi (comprehension) semata. "Inikan suatu masalah. Murid tidak diuji bagaimana memahami. Pendidikan moral misalnya, itu mesti lebih diarahkan ke kognisi. Isinya definisi-definisi. Tetapi, bagaimana caranya agar mereka bisa mengembangkan nilai-nilai itu dalam praktik, nyaris tidak ada," tuturnya.

Di dalam seminar ini, pakar kurukulum dari Malaysia, Saidah Siraj dan Zhaharah Husein berpendapat, di masa-masa mendatang, aspek softskill jauh dibutuhkan daripada kemampuan teknis dan kecerdasan SDM. Softskill yang berupa penguasaaan komunikasi, watak baik, dan kecerdasan emosional, menjadi hal unik yang membedakan dengan SDM lainnya. "Di tempat kami, siswa sejak dini diajarkan softskill dan entrepenurship," tutur Zhaharah.

Bahkan, seperti halnya di Amerika Serikat dan Qatar, pakar-pakar di Universiti Malaya kini tengah merancang kurikulum masa depan yang menggunakan bantuan sistem Delphie dan Cross Impact Analysis (CIA). Sistem ramalan kurikulum i ni biasa diterapkan di bisnis sekuritas dan militer di AS.

Dalam tahap awal, ucap Zharahah, tim pengembang menemukan kesimpulan awal bahwa bentuk pekerjaan di masa depan (10-15 tahun ke depan) bergantung pada kondisi ekonomi bangsa, pasar SDM akan makin berkurang akibat kemajuan teknologi. "Mereka pun menyimpulkan, pendidikan di tingkat dasar (taman kanak-kanak) jauh lebih penting daripada perguruan tinggi. Makanya, di Malaysia sekarang, iuran untuk pre school (TK) bisa tiga kali lipat lebih mahal dari universitas," ucapnya.

Hermana Soemantrie, dari Pusat Kurikulum Depdiknas RI membenarkan, KTSP setelah diterapkan dua tahun perlu dievaluasi efektivitasnya. Namun, terbatasnya pakar dalam bidang evaluasi kurikulum menjadi salah satu kendala.



Guru SD Dikerahkan Mengajar SMP

Sabtu, 2 Agustus 2008 | 13:43 WIB

MUSIRAWAS, SABTU - SMP Desa Pangkalan, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Sumsel, yang masih menumpang di gedung SDN Pangkalan belum memiliki tenaga pendidik sehingga kegiatan belajar mengajar sekolah tersebut tidak berjalan efektif.

"Sekolah kami memang belum memiliki guru. Guru yang mengajar di SMP ini semuanya guru SD tempat sekolah ini menumpang," kata Kepala Subdinas Pendidikan Dasar (Dikdas), Dinas Pendidikan Kabupaten Musirawas Drs Totok Suharto saat ditemui Sabtu (2/8).

Dikatakannya, keberadaan sekolah ini telah menjadi perhatian Diknas Musirawas, dan dalam waktu dekat direncanakan peningkatan status sekolah (akreditasi) menjadi sekolah negeri, yaitu SMPN, yang memiliki manajemen sendiri.

Kondisi sekolah, jelas Totok, sejak lama sudah dipantau dan berkoordinasi dengan pihak SDN Pangkalan dan Cabdin Diknas Kecamatan Rawas Ulu terkait pelaksanaan operasional sehari-hari. Pihaknya juga menilai kondisi SDN Pangkalan, tempat sekolah tersebut menumpang, saat ini sangat menyedihkan.

SDN Pangkalan saat ini hanya memiliki dua orang tenaga pengajar yang berstatus PNS, sedangkan yang lainnya berstatus guru honor komite, sehingga kedua sekolah ini perlu mendapat perhatian, khususnya dari Dinas Pendidikan Musirawas.

"Saat ini kita telah mengirim lima orang guru untuk mengikuti lokakarya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Palembang. Tujuannya agar kualitas tenaga pendidik dapat lebih baik lagi," jelasnya.










Pemerintah Bangun Sekolah Anak TKI Di Malaysia Rabu, 17 September 2008 | 20:47 WIB JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak

Rabu, 17 September 2008 | 20:47 WIB

JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.

Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.

Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.

Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.

Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.

Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.

Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.

Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.







Anak Berprestasi Masuk Perguruan Tinggi

Rabu, 11 Juni 2008 | 16:26 WIB

JAKARTA, RABU - Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Suyanto, mengingatkan bahwa anak-anak berprestasi dalam bidang sains, teknologi, seni atau olahraga harus diterima di jenjang pendidikan berikutnya tanpa hambatan. Mereka masuk tanpa tes dan mendapatkan bantuan pembiayaan, terutama bagi yang tidak mampu.

"Dalam waktu dua hari ini saya akan mengirim surat ke gubernur, bupati dan walikota agar anak-anak yang juara olimpiade dalam kelompok sains dan teknologi, seni, atau olahraga bisa diterima di sekolah jenjang berikutnya tanpa ada hambatan apapun. Terutama di sekolah-sekolah yang dibiayai oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Saya sempat ke beberapa daerah, ternyata para juara di olahraga merasa kurang mendapat perhatian ketika mereka mau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya," ujar Suyanto, Rabu (11/6).

Kemudahan para siswa berprestasi melanjutkan ke jenjang berikutnya tersebut bagian dari upaya pembinaan berkelanjutan siswa berprestasi oleh pemerintah dan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik Yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan Bakat Minat Istimewa. Tidak sekadar masuk tes, namun telah pula diatur agar pemerintah dan pemerintah daerah memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi hingga mereka tanpa hambatan menamatkan pendidikannya. Di level perguruan tinggi, kemudahan tersebut telah diberikan oleh Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Mengenai penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran 2008/2009, Suyanto menambahkan, kewenangan dan aturan pelaksanaan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Namun, dalam proses penerimaan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional mengimbau agar pelaksanannya penerimaan siswa baru itu tidak bertentangan dengan aturan yang ada. "Sebagai contoh, sekolah tidak boleh memungut uang formulir pendaftaran untuk jenjang SD dan SMP sederajat karena itu termasuk dalam dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS. Uang pangkal atau dana sumbangan untuk investasi harus dirundingkan oleh sekolah, komite sekolah dan orangtua murid serta harus ada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah atau RAPBS," ujarnya


Tidak Lulus UASBN, 12 Siswa Ikuti UNPK

Selasa, 1 Juli 2008 | 21:16 WIB

BANDUNG, SELASA - Sebanyak 12 siswa sekolah dasar formal yang tidak lulus ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN di Provinsi Jawa Barat terpaksa pindah jalur. Mereka mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK Paket A sejak Selasa (1/7) untuk mengejar ijazah kelulusan.

Berdasarkan data dari Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Disdik Provinsi Jabar, peserta pindah jalur (tidak lulus UASBN) UNPK periode I-2008 ini berasal dari enam daerah, yaitu Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Sumedang, dan Kota Bandung. Terbanyak dari Bogor, yaitu 12 orang.

Menurut Asep Suhanggan dari Subdin PLS Disdik Jabar, kemarin, peserta pindah jalur yang ikut UNPK Paket A ini belumlah tentu mencerminkan seluruh ketidaklulusan UASBN di Jabar. Bisa saja karena persoalan sosialisasi. Semuanya (tidak lulus) belum ikut, ucapnya. Total siswa SD yang ikut UASBN lalu di Jabar sebanyak 815.415 orang. Jadi, yang pindah jalur ini terbilang sedikit.

Adapun peserta UNPK Paket A dari reguler (non formal) sebanyak 12.355. Jauh lebih banyak dari peserta pindah jalur. Sementara, pe serta UNPK Paket B (setara SMP) sebanyak 49.757. Sebanyak 5.980 diantaranya peserta pindah jalur. Asep meyakini, ujian kesetaraan ini diikuti lebih dari 90 persen siswa yang tidak lulus ujian nasional di sekolah formal. Ujian Paket A dan B ini dilakukan bersamaan hingga tiga hari ke depan.

Demi pelayanan maksimal kepada peserta didik, hingga beberapa jam menjelang pelaksanaan ujian kemarin, panitia masih menerima pendaftaran peserta. Kemarin pagi, tercatat empat peserta baru terdaftar se-Jabar. Mereka berasal dari Kabupaten Bogor dan Cianjur. Karena mereka gagal UN , kami terima. Untuk mereka ini dimaklumi. Apalagi, bisa saja karena persoalan jarak atau informasi, mereka terlambat mendaftar, ujarnya. Di ketentuan, padahal, pendaftaran hanya hingga 28 Juni lalu.