Minggu, 12 April 2009

Putar Otak Siasati Terbatasnya Dana BOS

Senin, 21 April 2008 | 00:28 WIB

Kucuran dana bantuan operasional sekolah atau BOS memang mampu melegakan masyarakat meskipun belum sepenuhnya menggratiskan pendidikan. Namun, sejak dikucurkan pemerintah, Juli 2005, hingga saat ini masih banyak persoalan pengucuran dana BOS di daerah yang perlu diperbaiki.

Bagi sebagian besar kepala sekolah, pemberitahuan jika dana BOS sudah bisa dicairkan menjadi saat yang dinanti-nantikan karena mampu membuat mereka bernapas lega. Inilah saat untuk mengembalikan pinjaman atau utang kepada pihak lain, bahkan uang pribadi, saat dana BOS telat cair.

Keterlambatan pengucuran dana BOS ke sekolah-sekolah bukan lagi cerita baru. Keterlambatannya bisa mencapai enam bulan atau lebih, yang membuat pihak sekolah, khususnya kepala sekolah, pontang- panting mencari dana talangan supaya kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak terhenti.

Bagaimana kepala sekolah dan guru tidak harus memutar otak. Sebab, dana BOS yang besarnya Rp 254.000 per tahun untuk setiap siswa SD dan Rp 354.000 per tahun untuk setiap siswa SMP, serta BOS buku Rp 22.000/siswa kini memang menjadi andalan utama pembiayaan di sekolah.

”Sejak ada BOS, pungutan dari siswa kan tidak boleh lagi. Bantuan dari pemerintah daerah juga tidak ada. Sekolah ya bisa berjalan karena dana BOS,” kata Ahmad, Kepala SDN Cibeber 5, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Utang dulu

Dengan sistem pencairan dana BOS pada akhir triwulan, terpaksa untuk kebutuhan membeli alat tulis, membiayai kegiatan siswa, hingga membayar gaji honor para guru sukarelawan harus ditutupi dari pinjaman atau utang dulu.

”Menalangi dari uang sendiri jika memang ada atau terpaksa mencari pinjaman sudah jadi kebiasaan saya saat menunggu BOS cair,” kata Ahmad.

Dengan dana BOS yang terbatas itu, tak ada yang namanya perpustakaan dengan buku-buku cerita yang mampu menggugah minat baca anak. Keberadaan laboratorium IPA saja masih menjadi mimpi.

Suprihatin, Kepala SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengalami hal serupa dalam menyiasati penggunaan dana BOS. ”Saya lebih banyak memakai uang pribadi dulu,” katanya.

Alokasi dana BOS senilai Rp 7,8 juta per tiga bulan untuk 124 siswa itu sebenarnya jauh dari cukup untuk membiayai kegiatan belajar di sekolah yang masuk kategori di daerah terpencil ini. Penggunaannya terutama untuk membayar empat gaji guru sukarelawan yang totalnya Rp 500.000 per bulan, membeli alat tulis, hingga membayar iuran kegiatan siswa.

Sekolah mencoba untuk melengkapi alat-alat olahraga. ”Karena dananya minim, saya menyiasati dengan membeli bola bekas,” kata Suprihatin.

Jika ada kegiatan lomba buat siswa, demi menghemat pengeluaran, para siswa harus berjalan kaki sekitar 8 kilometer hingga ke jalan raya terdekat. Lokasi sekolah dan tempat tinggal siswa memang berada di daerah yang infrastruktur jalannya belum ada dan tidak ada listrik.

Tak ada dana

Yustina Minda, Kepala SD Negeri Roworena II, Ende, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, sebenarnya sekolah hendak membantu membeli alat-alat tulis, seragam, dan sepatu bagi siswa yang benar-benar miskin. Sebab, mereka memang tidak mampu untuk membeli, padahal seragam dan sepatu yang dipakai siswa saat ini sudah tidak layak pakai. Namun, niat itu tidak bisa diwujudkan karena tidak ada dana.

”Dana BOS benar-benar minim, hanya untuk keperluan operasional sekolah,” katanya.

Atas kesepakatan komite sekolah, pihak sekolah memutuskan memungut iuran Rp 2.000 per bulan bagi setiap siswa sebagai dana cadangan jika sewaktu- waktu dana BOS tak mencukupi.

Dari pantauan Kompas di daerah-daerah pedesaan hingga daerah terpencil di Banten dan Jawa Barat, alokasi dana BOS yang disamakan dengan di perkotaan terasa tidak memadai. Apalagi dana BOS dikucurkan sesuai jumlah siswa. Di daerah pedesaan yang biaya transportasinya tinggi, dana BOS itu akhirnya menjadi sangat minim.

Penyaluran dana BOS yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan lokasi sekolah, terutama untuk di daerah pedesaan dan daerah terpencil, sebenarnya sudah diwacanakan. Namun, pemerintah masih belum mengubah kebijakannya. Alokasi dana BOS tahun 2008 senilai Rp 11,54 triliun itu masih diberikan dengan besaran yang sama untuk setiap siswa.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, kebijakan pengucuran dana BOS yang seragam tidak efektif membantu pembiayaan pendidikan siswa dan sekolah karena ada sekolah yang kelebihan, tetapi juga banyak yang kekurangan dana operasional pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, manfaat dana BOS sangat dirasakan masyarakat. ”BOS telah membebaskan 70,3 persen murid SD dan SMP dari pungutan biaya operasional dan semua siswa miskin bebas dari pungutan,” kata Bambang. (ESTER LINCE NAPITUPULU)

sumber:kompas.com

Pemerintah Evaluasi Daerah dengan UN Rendah

Jumat, 20 Juni 2008 | 20:52 WIB

JAKARTA, JUMAT - Pemerintah akan mengevaluasi sekolah dan daerah yang memiliki nilai ujian nasional terendah. Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian yang lebih dan kucuran dana yang cukup besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang tertinggal dalam capaian standar ujian nasional.

Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Jakarta, Jumat (20/6). ”Alokasi anggaran dari pemerintah dan juga bantuan dari pihak lain akan diberikan lebih besar untuk daerah yang capaian ujian nasionalnya masih rendah. Harapannya untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan di daerah tersebut,” kata Bambang.

Dari hasil ujian nasional (UN), Nusa Tenggara Timur memiliki jumlah ketidaklulusan UN tingkat SMP dan SMA tertinggi di tingkat nasional. Untuk ketidaklulusan UN SMP mencapai 53,64 persen dan tingkat SMA mencapai 32,79 persen.

Bambang mengatakan pemerintah memanfaatkan hasil UN sebagai pemetaan untuk melihat kondisi pendidikan di setiap daerah. "Seperti daerah Nusa Tenggara Timur mendapat perhatian khusus dengan berbagai macam upaya dan usaha untuk menggenjot nilai kualitas dan kuantitas UN di daerah tersebut," katanya.

Secara terpisah, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Djaali, mengatakan BSNP sudah menyerahkan laporan mengenai hasil UN siswa SMP dan SMA tahun ini kepada Mendiknas. Pemerintah diharapkan memiliki kebijakan yang baik untuk memenuhi delapan standar nasional pendidikan yang sudah digariskan BSNP.

”Kami minta pemerintah jangan hanya mengedepankan standar penilaian. Standar nasional pendidikan lainnya, mulai sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, kompetensi lulusan, isi, proses, dan pengelolaan, pembiayaan pendidikan juga harus dicapai. Pencapaian tujuh standar lainnya kan untuk mendukung standar penilaian pendidikan juga,” kata Djaali.


ELN

sumber:www.kompas.com

RUU BHP Siap Disahkan

Kamis, 11 Desember 2008 | 18:04 WIB

JAKARTA, KAMIS - Pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akhirnya menemukan kata sepakat antara pemerintah dan Komisi X DPR pada Rabu malam.

Komisi X segera mengirim surat kepada Badan Musyawarah DPR untuk segera mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan menjadi Undang-undang. "Targetnya, secepatnya disahkan. Maunya bisa dibahas dalam rapat sidang paripurna akhir tahun ini," kata Aan Rohanah, anggota tim perumus dan panitia kerja Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di Jakarta, Kamis (11/12).

Menurut Aan, jika tata kelola institusi pendidikan sesuai UU BHP, bisa mendorong terciptanya mutu pendidikan yang semakin baik. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi akan berjalan efektif, transparan, dan bisa diawasi.

Adapun mengenai pembiayaan pendidikan yang ditanggung masyarakat, kata Aan, akan lebih ringan. Untuk tingkat pendidikan tinggi, misalnya, dana yang boleh dipungut dari mahasiswa hanya sepertiga, dan pemerintah wajib menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu.

"Untuk pendidikan dasar dan menengah, tetap harus banyak dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Pungutan kepada masyarakat diminimalkan, tidak boleh ada paksaan, dan sesuai kemampuan," ujar Aan.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Deparetemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengatakan penerapan BHP satuan pendidikan ini masih diutamakan untuk perguruan tinggi. Adapun untuk sekolah di tingkat dasar dan menengah, hanya sekolah yang sudah memneuhi syarat dan sanggup mandiri.

Ketua Tim Perumus RUU BHP Anwar Arifin mengatakan implementasi BHP menyebabkan sekolah mandiri dan bisa melakukan tindakan hukum. "Soal pembiayaan pendidikan tidak usah dikhawatirkan. Dengan adanya BHP, siswa membayar sekolah sesuai kemampuan ekonominya. Ini menguntungkan masyarakat," ujar Anwar.


ELN

sumber:www.kompas.com

Biaya Pendidikan Tidak Transparan

Senin, 30 Juni 2008 | 19:41 WIB

JAKARTA, SENIN - Besarnya biaya pendidikan yang ditanggung siswa baru, terutama di sekolah negeri, tidak transparan dari awal penerimaan siswa baru. Akibatnya, orangtua siswa baru tidak punya posisi tawar soal pembiayaan pendidikan yang ditetapkan sekolah dan komite sekolah dengan tujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, di Jakarta, Senin (30/6), mengatakan dalam penerimaan siswa baru, posisi orang tua atau masyarakat menjadi tidak berdaya di hadapan sekolah.

”Setiap tahun, biaya pendaftaran sekolah terus saja menjadi persoalan. Ini karena pemerintah melakukan pembiaran dengan tidak sungguh-sungguh menanggung anggaran pendidikan berkualitas di sekolah-sekolah. Masyarakat bisa menuntut tanggung jawab pemerintah karena pendidikan berkualitas menjadi eksklusif untuk mereka yang mampu membayar saja,” kata Ade.

Meskipun sudah diterima dalam pendaftaran siswa baru, sejumlah orangtua siswa di Jakarta dan sekitarnya belum juga mendapat informasi yang jelas mengenai besarnya biaya pendidikan yang dibebankan sekolah kepada siswa. Gambaran besarnya biaya pendidikan yang mesti disiapkan siswa baru tersebut justru didapat dari informasi orang tua siswa pada tahun sebelumnya.


ELN
Senin, 30 Juni 2008 | 19:41 WIB

JAKARTA, SENIN - Besarnya biaya pendidikan yang ditanggung siswa baru, terutama di sekolah negeri, tidak transparan dari awal penerimaan siswa baru. Akibatnya, orangtua siswa baru tidak punya posisi tawar soal pembiayaan pendidikan yang ditetapkan sekolah dan komite sekolah dengan tujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, di Jakarta, Senin (30/6), mengatakan dalam penerimaan siswa baru, posisi orang tua atau masyarakat menjadi tidak berdaya di hadapan sekolah.

”Setiap tahun, biaya pendaftaran sekolah terus saja menjadi persoalan. Ini karena pemerintah melakukan pembiaran dengan tidak sungguh-sungguh menanggung anggaran pendidikan berkualitas di sekolah-sekolah. Masyarakat bisa menuntut tanggung jawab pemerintah karena pendidikan berkualitas menjadi eksklusif untuk mereka yang mampu membayar saja,” kata Ade.

Meskipun sudah diterima dalam pendaftaran siswa baru, sejumlah orangtua siswa di Jakarta dan sekitarnya belum juga mendapat informasi yang jelas mengenai besarnya biaya pendidikan yang dibebankan sekolah kepada siswa. Gambaran besarnya biaya pendidikan yang mesti disiapkan siswa baru tersebut justru didapat dari informasi orang tua siswa pada tahun sebelumnya.


ELN

sumber:www.kompas.com

Anggaran Pendidikan Pemkot Surabaya Lebih Besar Daripada Jatim

Kamis, 25 September 2008 | 16:26 WIB

SURABAYA, KAMIS - Pemerintah Kota Surabaya mengusulkan anggaran pendidikan dengan nilai lebih besar daripada Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada RAPBD 2009. Surabaya mengusulkan Rp 680,1 miliar, Sementara Jawa Timur hanya Rp 600 miliar.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, usulan itu menyesuaikan dengan amanat 20 persen anggaran belanja untuk anggaran pendidikan. Di Surabaya, pemenuhan itu diterjemahkan menjadi angka tersebut. "Kami menghitung total belanja di luar gaji. Jadi ini murni untuk pembiayaan pendidikan," ujarnya di Surabaya, Kamis (25/9).

Pada RAPBD Surabaya 2009, total belanja di luar gaji dan belanja rutin adalah Rp 3,5 triliun. Dengan demikian, 20 persen dari angka itu adalah Rp 680,1 miliar. "Anggaran pendidikan bukan berarti dana yang dikelola Dinas Pendidikan. Anggaran pendidikan akan disebar di beberapa satuan perangkat dinas sesuai kewenangan masing-masing," ujarnya.

Dinas Pendidikan hanya akan langsung mengelola dana RP 244,2 miliar. Dana itu murni untuk belanja pendidikan seperti peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru, peningkatan mutu dan layanan pendidikan. Sementara belanja-belanja perangkat dan perbaikan fasilitas sekolah diserahkan ke instansi lain. "Dinas Pendidikan biar fokus untuk urusan pendidikan murni saja," ujarnya.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo mengungkapkan, pihaknya mengusulkan anggaran pendidikan Rp 600 miliar. Itu hanya dana yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. "Sekarang sedang dibahas di Bappeprov (Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi). Saya kurang tahu bagaimana nanti hasilnya. Bisa jadi sesuai usulan, bisa jadi berbeda," ujarnya.

Besar usulan itu dianggap sudah memenuhi alokasi 20 persen dari APBD. Seperti Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menghitung alokasi 20 persen dari APBD yang sudah tidak belanja rutin dan gaji pegawai. "Jadi hanya dihitung untuk belanja langsung saja. Usulan Rp 600 miliar itu juga murni untuk belanja pendidikan. Tidak termasuk gaji pegawai," ujarnya.


RAZ

sumber:www.kompas.com

Anggaran Pendidikan Pemkot Surabaya Lebih Besar Daripada Jatim

Kamis, 25 September 2008 | 16:26 WIB

SURABAYA, KAMIS - Pemerintah Kota Surabaya mengusulkan anggaran pendidikan dengan nilai lebih besar daripada Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada RAPBD 2009. Surabaya mengusulkan Rp 680,1 miliar, Sementara Jawa Timur hanya Rp 600 miliar.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, usulan itu menyesuaikan dengan amanat 20 persen anggaran belanja untuk anggaran pendidikan. Di Surabaya, pemenuhan itu diterjemahkan menjadi angka tersebut. "Kami menghitung total belanja di luar gaji. Jadi ini murni untuk pembiayaan pendidikan," ujarnya di Surabaya, Kamis (25/9).

Pada RAPBD Surabaya 2009, total belanja di luar gaji dan belanja rutin adalah Rp 3,5 triliun. Dengan demikian, 20 persen dari angka itu adalah Rp 680,1 miliar. "Anggaran pendidikan bukan berarti dana yang dikelola Dinas Pendidikan. Anggaran pendidikan akan disebar di beberapa satuan perangkat dinas sesuai kewenangan masing-masing," ujarnya.

Dinas Pendidikan hanya akan langsung mengelola dana RP 244,2 miliar. Dana itu murni untuk belanja pendidikan seperti peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru, peningkatan mutu dan layanan pendidikan. Sementara belanja-belanja perangkat dan perbaikan fasilitas sekolah diserahkan ke instansi lain. "Dinas Pendidikan biar fokus untuk urusan pendidikan murni saja," ujarnya.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo mengungkapkan, pihaknya mengusulkan anggaran pendidikan Rp 600 miliar. Itu hanya dana yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. "Sekarang sedang dibahas di Bappeprov (Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi). Saya kurang tahu bagaimana nanti hasilnya. Bisa jadi sesuai usulan, bisa jadi berbeda," ujarnya.

Besar usulan itu dianggap sudah memenuhi alokasi 20 persen dari APBD. Seperti Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menghitung alokasi 20 persen dari APBD yang sudah tidak belanja rutin dan gaji pegawai. "Jadi hanya dihitung untuk belanja langsung saja. Usulan Rp 600 miliar itu juga murni untuk belanja pendidikan. Tidak termasuk gaji pegawai," ujarnya.


RAZ

sumber:www.kompas.com

PTN dan Komersialisasi Pendidikan

Selasa, 4 Maret 2008 | 02:15 WIB

Teuku Kemal Fasya

Ide pendirian Badan Hukum Pendidikan atau BHP kembali mencuat. Namun, reaksi negatif ditunjukkan sivitas akademika atas upaya pengubahan perguruan tinggi negeri menjadi BHP.

Aksi besar-besaran mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, menolak konsep BHP beberapa waktu lalu menjadi sinyal, ini bukan solusi tepat memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan. BHP adalah aroma baru bagi komersialisasi pendidikan tinggi.

Mitos otonomi

Rencana pembentukan BHP merupakan penajaman konsep yang lebih dahulu bergulir, yaitu perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang dianggap ”berhasil” memandirikan pengelolaan kampus. Anehnya, rancangan undang-undang PT BHMN yang bergulir sejak pemerintahan Megawati tidak kunjung disahkan.

Yang terbaca dalam fungsi praksis RUU, lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional dengan memberi keleluasaan BHP mencari jejaring modal lain yang bersedia membiayai, baik dalam maupun luar negeri (Pasal 2 alternatif). Dua sisi keping mata uang dari fungsi PT BHMN dan postur BHP dapat terbaca dalam RUU BHP. PT BHMN otomatis akan menjadi BHP jika rancangan itu disahkan DPR {Pasal 55 (1) RUU BHP}.

Sisi ”jualan” pendidikan nasional seakan telah dinaturalisasi negara. Sistem pendidikan nasional yang dikembangkan sejak masa Daoed Joesoef, dilanjutkan pengembangan aspek link and match yang menegosiasikan tujuan pendidikan dan pasar kerja, memungkinkan pendidikan tidak mengarah pada tujuan kritis (critical sciences), tetapi pragmatis.

Akan tetapi, konsep BHP kian mengarah pada titik ekstrem. Bukan hanya dunia kerja yang komersial, melainkan institusi pendidikan pun menjadi pasar. Padahal, institusi pendidikan harus jauh dari semangat pasar. Ia harus berdiri sebagai ”blok historis” yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putri terbaik yang mampu membaca tanda- tanda zaman.

Pembentukan BHP (seperti fenomena di UGM dan UI ) telah membuka kesempatan bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Melalui jalur non-SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru), kian banyak mahasiswa borjuis berkemampuan rendah bisa masuk kampus elite (BHMN) dan menyisihkan mahasiswa cerdas yang secara ekonomis kurang mampu.

Konsep otonomi telah diterjemahkan secara superfisial. Otonomi pendidikan seharusnya dirakit untuk merumuskan kurikulum dan kekhasan intelektual (berbasis lokal dan kompetensi), tetapi malah menjadi alat politis dan mesin ekonomi. Rengkuhan ekonomis tentu mengimpit sisi penting pendidikan (kultural, spiritual, mental) karena kalkulasinya berdasar prinsip manajemen korporatis, bukan ilmiah.

Maka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan upaya mem- BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, minimal 50 persen hingga tahun 2009 menjadi kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi {Pasal 4 (1) UU No 20/2003}.

Pengalihan tanggung jawab

Upaya pengesahan RUU BHP merupakan pelanggaran fundamental pedagogi, yaitu pendidikan sebagai kebaikan bagi semua orang (bonum commune). Pendidikan, seperti kata Paulo Freire, harus menjadi praksis yang membebaskan, termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan.

Ada tuduhan, pembentukan BHP dikhawatirkan memberi kesempatan resmi menyisipkan aroma politis lain yang bisa digunakan pimpinan kampus guna melanggengkan kepentingan.

Maraknya pemeriksaan dan pengusutan rektor PTN yang ditengarai menyelewengkan anggaran pendidikan menjadikan konsep BHP sebagai ”pelarian paling sempurna” dari endusan BPK, BPKP, inspektorat, dan kejaksaan. Perguruan tinggi BHP tak bisa digugat pengelolaan anggarannya karena bukan institusi negara, melainkan institusi publik. Pertanggungjawaban beralih dari Mendiknas ke Majelis Wali Amanat (MWA).

Dengan kultur paternalistik yang masih kental, rektor dengan mudah mengintervensi MWA. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rektor. Sivitas akademika hanya pasir dan kayu tumbuk organisasi pendidikan dan pengajaran tanpa hak mengontrol kebijakan kampus.

Sebagai pengajar di sebuah PTN muda dari daerah yang masih miskin akibat konflik dan bencana, penulis tak siap melihat nasib lembaga pendidikan menjadi firma tanpa semangat kekeluargaan sivitas akademika.

Teuku Kemal Fasya Ketua Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe

sumber:www.kompas.com