Senin, 6 April 2009 | 20:11 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
BANDUNG, KOMPAS.com - Bangunan-bangunan sekolah bekas SD Inpres yang dibuat tahun 1974-1977 sebaiknya dihancurkan dan diganti dengan struktur bangunan baru. Orangtua siswa khawatir, kasus seperti di SDN Sejahtera bakal terulang di masa mendatang jika tidak diantisipasi serius.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jendral Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Bandung Raya, Senin (6/4). Bangunan-banguna SD Inpres ini kan sebetulnya tidak layak. Aspek kajian teknis dan strukturnya banyak yang tidak memenuhi syarat. "Seperti halnya kasus yang terjadi di SDN Sejahtera," ucapnya.
Kekhawatiran semakin menjadi-jadi saat musim penghujan saat ini. Potensi hujan lebat disertai angin kencang semakin tinggi dan bukan tidak mungkin memicu robohnya atap bangunan SD-SD Inpres yang kualitasnya rendah dan t erus dimakan usia. Dwi pun mengusulkan SD-SD yang dibuat zaman Orde Baru ini digantikan bangunan baru. Tidak perlu direhabilitasi seperti halnya kasus di SDN Sejahtera.
Sekeratis Dinas Pendidikan Kota Bandung Dadang Iradi membenarkan, struktur bangunan SD Inpres relatif lebih rentan dibandingkan bangunan SD yang dibuat zaman lainnya, termasuk yang usianya lebih tua. Kan pembangunannya menggunakan sistem darurat saat itu. "Mengejar jumlah. Dinding hanya terbuat dari batako dan atapnya asbes," ucapnya.
Ironisnya, sebagian dari sekolah rusak yang ada di Kota Bandung saat ini adalah SD-SD Inpres. Total ruang kelas rusak yang tercatat saat ini adalah 1.500 buah. Lagian, kami pun sebetulnya masih membutuhkan ruang-ruang kelas baru. Target rehabilitasi ini sampai 2010, ucapnya. Tahun ini, Pemkot Bandung menganggarkan dana rehabilitasi Rp 42 miliar dan untuk pengadaan ruang kelas baru Rp 11 miliar.
Tahun 2009 ini ada 90 sekolah yang mendapatkan proyek rehabilitasi dari dana role sharing . Di lain pihak, pada ta hun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak lagi mengaggarkan dana role sharing rehabilitasi dan pengadaan ruang kelas baru. Program ini akan di;anjurkan lagi tahun 2010. Di Bandung, perbaikan sarana prasarana menjadi program prioritas selain mewujudkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.
Kontrol masyarakat
Ketua Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia Eko Purwono mengatakan, kasus di SDN Sejahtera sebetulnya tidak perlu terjadi apabila masyarakat lebih dilibatkan aktif di dalam pengawasan dan proyek rehabilitasi gedung sekolah. Mengacu kepada ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan, masyarakat berhak memberi masukan tentang rencana teknis dan tata bangunan.
Bahkan, bisa melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang bisa membahayakan, tuturnya. Dwi Subawanto sependapat dengan hal ini. Sayangnya, menurutnya, tidak tiap sekolah mau memberi ruang yang luas terhadap partisipasi publik dalam perencanaan atau pengerjaan proyek di sekolah.
Sering terjadi, komite sekolah (wakil dari masyarakat) justru tidak dilibatkan, ucapnya. Ia menduga, hal ini juga terjadi di dalam kasus ambruknya ruang kelas di SDN Sejahtera. Padahal, ucapnya, apalagi di swakelola, keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan sangatlah dibenarkan. "Jadi, bukan hanya urusan kepsek semata," ucapnya.
Hal ini dibenarkan Kepala Seksi Pembinaan TK dan SD Bidang Pendidikan Dasar Disdik Provinsi Jawa Barat Uuh Suparman. Sistem swakelola justru merangsang adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Dana Rp 4 juta sebetulnya kan terbatas. "Dari sini justru diharapkan adanya sumbangsih masyarakat, misalnya tenaga," ucapnya.
sumber:www.kompas.com
Sabtu, 18 April 2009
Perpustakaan Tak Penuhi Standar
Jumat, 22 Agustus 2008 | 11:13 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS - Sekitar 110 perpustakaan sekolah di Kota Yogyakarta belum memenuhi standar sarana dan prasarana. Selain ruangan perpustakaan yang kurang luas, sejumlah sekolah juga masih kesulitan menambah koleksi buku. Data di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tahun 2008, baru 62 persen perpustakaan di SD yang memenuhi standar kelayakan.
Artinya, sekitar 93 perpustakaan SD dari total 244 SD di Kota Yogyakarta belum sesuai standar. Jumlah perpustakaan yang belum memenuhi standar di tingkat SMP mencapai 19 persen atau sekitar 12 dari total 61 SMP, sedangkan di SMA terdapat lima perpustakaan atau enam persen dari 81 SMA. Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Sumitro mengatakan, peningkatan sarana perpustakaan terkendala skala prioritas dan dana. Tahun ini belum ada anggaran untuk peningkatan perpustakaan sekolah.
Prioritas kami masih membetulkan ruang kelas yang rusak karena gempa, katanya, Kamis (21/8) di Yogyakarta. Kepala SMP Gotong Royong, Yogyakarta, Ame Lita Br Tarigan Sibero mengatakan, untuk memenuhi dana operasional sekolah saja masih sulit. Pemasukan sekolah selalu habis untuk dana operasional saja. Jadi, memang sama sekali belum ada anggaran untuk perpustakaan, katanya.
Akibatnya, perpustakaan di sekolah dengan 34 murid tersebut masih jauh dari memadai. Ruang perpustakaan masih menjadi satu dengan ruang penyimpanan alat kebersihan dan tumpukan kertas. Selain itu, koleksi perpustakaan juga sangat minim. Sebagian besar koleksi buku di perpustakaan adalah buku teks pelajaran. Selain hasil sumbangan, buku-buku pelajaran itu dibeli dengan uang bantuan operasional sekolah (BOS) buku.
Untuk menambah koleksi perpustakaan, sekolah masih menyimpan koran gratis yang pernah mereka terima dalam rangka promosi sekitar setahun lalu. Seorang guru juga berinisiatif meminjamkan majalah hasil langganannya. Karena tidak ada dana, SMK Perkebunan MM 51 Yogyakarta belum mampu memperbaiki ruang perpustakaan yang rusak akibat gempa dua tahun lalu. Langit-langit ruangan yang berlubang besar di sana-sini membuat murid takut masuk perpustakaan. Kesulitan alokasi dana minimal perpustakaan juga dialami SD Negeri Badran yang pemasukkannya hanya bersumber dari dana BOS pusat dan daerah. Tahun ini, sekolah tersebut baru bisa mengalokasikan 3,07 persen dari total rencana APBS untuk dana perpustakaan. Kami memprioritaskan pengeluaran untuk kegiatan belajar-mengajar, kata Sofiatun, pengelola perpustakaan di SDN Badran. (ire)
sumber:www.kompas.com
YOGYAKARTA, KOMPAS - Sekitar 110 perpustakaan sekolah di Kota Yogyakarta belum memenuhi standar sarana dan prasarana. Selain ruangan perpustakaan yang kurang luas, sejumlah sekolah juga masih kesulitan menambah koleksi buku. Data di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tahun 2008, baru 62 persen perpustakaan di SD yang memenuhi standar kelayakan.
Artinya, sekitar 93 perpustakaan SD dari total 244 SD di Kota Yogyakarta belum sesuai standar. Jumlah perpustakaan yang belum memenuhi standar di tingkat SMP mencapai 19 persen atau sekitar 12 dari total 61 SMP, sedangkan di SMA terdapat lima perpustakaan atau enam persen dari 81 SMA. Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Sumitro mengatakan, peningkatan sarana perpustakaan terkendala skala prioritas dan dana. Tahun ini belum ada anggaran untuk peningkatan perpustakaan sekolah.
Prioritas kami masih membetulkan ruang kelas yang rusak karena gempa, katanya, Kamis (21/8) di Yogyakarta. Kepala SMP Gotong Royong, Yogyakarta, Ame Lita Br Tarigan Sibero mengatakan, untuk memenuhi dana operasional sekolah saja masih sulit. Pemasukan sekolah selalu habis untuk dana operasional saja. Jadi, memang sama sekali belum ada anggaran untuk perpustakaan, katanya.
Akibatnya, perpustakaan di sekolah dengan 34 murid tersebut masih jauh dari memadai. Ruang perpustakaan masih menjadi satu dengan ruang penyimpanan alat kebersihan dan tumpukan kertas. Selain itu, koleksi perpustakaan juga sangat minim. Sebagian besar koleksi buku di perpustakaan adalah buku teks pelajaran. Selain hasil sumbangan, buku-buku pelajaran itu dibeli dengan uang bantuan operasional sekolah (BOS) buku.
Untuk menambah koleksi perpustakaan, sekolah masih menyimpan koran gratis yang pernah mereka terima dalam rangka promosi sekitar setahun lalu. Seorang guru juga berinisiatif meminjamkan majalah hasil langganannya. Karena tidak ada dana, SMK Perkebunan MM 51 Yogyakarta belum mampu memperbaiki ruang perpustakaan yang rusak akibat gempa dua tahun lalu. Langit-langit ruangan yang berlubang besar di sana-sini membuat murid takut masuk perpustakaan. Kesulitan alokasi dana minimal perpustakaan juga dialami SD Negeri Badran yang pemasukkannya hanya bersumber dari dana BOS pusat dan daerah. Tahun ini, sekolah tersebut baru bisa mengalokasikan 3,07 persen dari total rencana APBS untuk dana perpustakaan. Kami memprioritaskan pengeluaran untuk kegiatan belajar-mengajar, kata Sofiatun, pengelola perpustakaan di SDN Badran. (ire)
sumber:www.kompas.com
DPRD Meminta Ada Standardisasi Biaya Minimal Sekolah
Senin, 7 April 2008 | 18:44 WIB
GRESIK, SENIN - Ketua DPRD Gresik Ahmad Nadir meminta ada standardisasi minimal biaya sekolah khususnya menyangkut biaya masuk untuk pendaftaran siswa baru di Gresik. Jika orang tua masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi alokasi anggaran pendidikan yang tinggi hingga 20 persen akan percuma. Nadir meminta Komisi D DPRD Gresik berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dewan pendidikan Gresik untuk menetapkan standar minimal biaya masuk sekolah sesuai dengan kelas sekolah.
Dia tidak melarang sekolah menarik biaya pendaftaraan hingga jutaan rupiah asalkan harus diikuti konsekuensi anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan dan operasional sekolah. Selama ini anggaran pemerintah hanya untuk membayar gaji guru. "Percuma saja, APBD untuk pendidikan dialokasikan tinggi, jika dalam kenyataan pihak sekolah masih membebeni orang tua siswa," kata Nadir usai Laporan Keterangan Pertanggungjawawaban Bupati Gresik Robbach Ma'sum.
Selain membuat standarisasi biaya minimal pendidikan, Nadir juga meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik mendata ulang biaya pendaftaran agar bisa dilakukan pengawasan. Tujuannya dinas pendidikan dapat mengontrol sekolah, supaya tidak merugikan orang tua murid.
"Setelah biaya minimal sekolah bisa dirumuskan barulah ditetapkan dalam regulasi untuk diaplikasikan ke masing-masing sekolah. Langkah sekolah menarik biaya tinggi saat ini tidak ada aturannya," kata Nadir.
Ketua Komisi D DPRD Gresik, Syafiqi Mahfudz Zein menyatakan akan memanggil pihak-pihak terkait. Jika memang penarikan biaya penerimaan siswa baru (PSB) di Sekolah Dasar Negeri dikeluhkan akan digelar dengar pendapat. Pihaknya akan meminta penjelasan seputar uang gedung sebesar Rp 2,5 juta dan proses PSB.
"Ada hal yang kami nilai keliru dan perlu diluruskan yakni saat ini seleksi SD dilakukan ketika siswa TK belum lulus. Seharusnya PSB digelar ketika murid TK sudah lulus, sebagaimana PSB di SMP dan SMA," jelas Syafiqi.
Sementara Anggota Dewan Pendidikan Gresik, Nur Faqih menyatakan pihaknya tengah melakukan survei untuk mencari fotmat standardisasi biaya minimal pendidikan di Gresik mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menangah atas dan yang sederajat.
Dia meminta sekolah tidak membebani orang tua siswa dengan biaya sekolah yang mahal. Penarikan biaya harus disepakati Komite sekolah tetapi besarannya tidak bisa dipatok lebih dulu. Tugas pemerintah menyediakan sarana prasarana sekolah bila dinilai kurang bisa diambil dari sumbangan orang tua tetapi besarnya tidak ditetapkan sepihak oleh sekolah.
Menurut dia selama ini Gresik belum memiliki kepastian anggaran pendidikan sehingga menimbulkan variasi biaya pendidikan di setiap sekolah yang memberatkan orang tua. Oleh karena itu harus dicari standardisasi biaya minimal sekolah agar tidak merugikan orang tua. Parameter yang dipakai Dewan Pendidikan Gresik untuk menentukan standar tersebut diantaranya biaya-biaya pokok yang dikeluarkan orang tua sekolah untuk biaya alat-alat sekolah, seragam, hingga prasana sekolah.
Dari berbagai indikator yang ada akan diperoleh biaya minimal yang harus ditanggung orang tua, dan dipilah mana biaya pendidikan yang ditanggung sekolah, pemerintah dan orang tua serta masyarakat. Semua ada standarnya sebab sebenarnya biaya pendidikan itu tanpa batas. "Berapa pun biayanya selalu kurang. Buktinya meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dihapuskan selalu masih ada tarikan untuk siswa," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik, Chusaini Mustaz mengemukakan penarikan uang gedung mestinya dilakukan pada saat mulai tahun ajaran baru. Hal itu diawali komite sekolah mengajak orang tua untuk menyampaikan kebutuhan pembangunan sekolah. "Kebutuhan masing-masing biaya harus dimusyawarahkan dulu. Sekolah tidak dibenarkan memutuskan sumbangan secara sepihak," jelasnya.
Terkait besarnya tarikan untuk orang tua siswa baru di SD Negeri Sidokumpul II Gresik Anggota Komite Sekolah Abdul Harus Irianto menjelaskan sumbangan uang gedung sebelumnya sudah dimusyawarahkan dengan pihak sekolah. Biaya pembangunan sekolah jika dikalk ulasi mencapai Rp 275 juta diantaranya untuk fasilitas perpustakaan Rp 181 juta, pembuatan taman adiwiyata Rp 25 juta, pengadaan lima unit komputer Rp 5 juta, pemasangan keramik di enam kelas Rp 38 juta. "Setelah dimusyawarahkan tiap satu siswa dikenai sumbangan bervariasi Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta," jelasnya.
Sementara itu pada penerimaan siswa baru SD Negeri Sidokumpul II tahun ajaran 2008/2009 tercatat ada 215 calon siswa dan diterima 105 siswa. Biaya uang pendaftaran Rp 40.000, biaya daftar ulang Rp 1,335 juta, dan sumbangan sarana prasarana minimal Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. (ACI)
Tabel Biaya Masuk SDN Sidokumpul 2 Tahun Ajaran 2008/2009
Pendaftar: 215 Calon Siswa
Diterima: 105 Siswa
Biaya Uang Pendaftaran: Rp 40.000
Biaya Daftar Ulang: Rp 1.335.000
Sumbangan Sarana Prasarana: Minimal Rp 2 Juta Perorang
Biaya Pembangunan : Rp 275 Juta
1.Gedung Perpustakaaan: Rp 181 Juta
2.Taman Adidwiyata: Rp 25 Juta
3.Komputer 5 Unit: Rp 25 Juta
4.Pemasangan Keramik 6 kls: Rp 48 Juta
Sumber : Hasil Rapat Komite SDN Sidokumpul 2 Minggu (6/4)
ACI
GRESIK, SENIN - Ketua DPRD Gresik Ahmad Nadir meminta ada standardisasi minimal biaya sekolah khususnya menyangkut biaya masuk untuk pendaftaran siswa baru di Gresik. Jika orang tua masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi alokasi anggaran pendidikan yang tinggi hingga 20 persen akan percuma. Nadir meminta Komisi D DPRD Gresik berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dewan pendidikan Gresik untuk menetapkan standar minimal biaya masuk sekolah sesuai dengan kelas sekolah.
Dia tidak melarang sekolah menarik biaya pendaftaraan hingga jutaan rupiah asalkan harus diikuti konsekuensi anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan dan operasional sekolah. Selama ini anggaran pemerintah hanya untuk membayar gaji guru. "Percuma saja, APBD untuk pendidikan dialokasikan tinggi, jika dalam kenyataan pihak sekolah masih membebeni orang tua siswa," kata Nadir usai Laporan Keterangan Pertanggungjawawaban Bupati Gresik Robbach Ma'sum.
Selain membuat standarisasi biaya minimal pendidikan, Nadir juga meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik mendata ulang biaya pendaftaran agar bisa dilakukan pengawasan. Tujuannya dinas pendidikan dapat mengontrol sekolah, supaya tidak merugikan orang tua murid.
"Setelah biaya minimal sekolah bisa dirumuskan barulah ditetapkan dalam regulasi untuk diaplikasikan ke masing-masing sekolah. Langkah sekolah menarik biaya tinggi saat ini tidak ada aturannya," kata Nadir.
Ketua Komisi D DPRD Gresik, Syafiqi Mahfudz Zein menyatakan akan memanggil pihak-pihak terkait. Jika memang penarikan biaya penerimaan siswa baru (PSB) di Sekolah Dasar Negeri dikeluhkan akan digelar dengar pendapat. Pihaknya akan meminta penjelasan seputar uang gedung sebesar Rp 2,5 juta dan proses PSB.
"Ada hal yang kami nilai keliru dan perlu diluruskan yakni saat ini seleksi SD dilakukan ketika siswa TK belum lulus. Seharusnya PSB digelar ketika murid TK sudah lulus, sebagaimana PSB di SMP dan SMA," jelas Syafiqi.
Sementara Anggota Dewan Pendidikan Gresik, Nur Faqih menyatakan pihaknya tengah melakukan survei untuk mencari fotmat standardisasi biaya minimal pendidikan di Gresik mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menangah atas dan yang sederajat.
Dia meminta sekolah tidak membebani orang tua siswa dengan biaya sekolah yang mahal. Penarikan biaya harus disepakati Komite sekolah tetapi besarannya tidak bisa dipatok lebih dulu. Tugas pemerintah menyediakan sarana prasarana sekolah bila dinilai kurang bisa diambil dari sumbangan orang tua tetapi besarnya tidak ditetapkan sepihak oleh sekolah.
Menurut dia selama ini Gresik belum memiliki kepastian anggaran pendidikan sehingga menimbulkan variasi biaya pendidikan di setiap sekolah yang memberatkan orang tua. Oleh karena itu harus dicari standardisasi biaya minimal sekolah agar tidak merugikan orang tua. Parameter yang dipakai Dewan Pendidikan Gresik untuk menentukan standar tersebut diantaranya biaya-biaya pokok yang dikeluarkan orang tua sekolah untuk biaya alat-alat sekolah, seragam, hingga prasana sekolah.
Dari berbagai indikator yang ada akan diperoleh biaya minimal yang harus ditanggung orang tua, dan dipilah mana biaya pendidikan yang ditanggung sekolah, pemerintah dan orang tua serta masyarakat. Semua ada standarnya sebab sebenarnya biaya pendidikan itu tanpa batas. "Berapa pun biayanya selalu kurang. Buktinya meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dihapuskan selalu masih ada tarikan untuk siswa," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik, Chusaini Mustaz mengemukakan penarikan uang gedung mestinya dilakukan pada saat mulai tahun ajaran baru. Hal itu diawali komite sekolah mengajak orang tua untuk menyampaikan kebutuhan pembangunan sekolah. "Kebutuhan masing-masing biaya harus dimusyawarahkan dulu. Sekolah tidak dibenarkan memutuskan sumbangan secara sepihak," jelasnya.
Terkait besarnya tarikan untuk orang tua siswa baru di SD Negeri Sidokumpul II Gresik Anggota Komite Sekolah Abdul Harus Irianto menjelaskan sumbangan uang gedung sebelumnya sudah dimusyawarahkan dengan pihak sekolah. Biaya pembangunan sekolah jika dikalk ulasi mencapai Rp 275 juta diantaranya untuk fasilitas perpustakaan Rp 181 juta, pembuatan taman adiwiyata Rp 25 juta, pengadaan lima unit komputer Rp 5 juta, pemasangan keramik di enam kelas Rp 38 juta. "Setelah dimusyawarahkan tiap satu siswa dikenai sumbangan bervariasi Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta," jelasnya.
Sementara itu pada penerimaan siswa baru SD Negeri Sidokumpul II tahun ajaran 2008/2009 tercatat ada 215 calon siswa dan diterima 105 siswa. Biaya uang pendaftaran Rp 40.000, biaya daftar ulang Rp 1,335 juta, dan sumbangan sarana prasarana minimal Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. (ACI)
Tabel Biaya Masuk SDN Sidokumpul 2 Tahun Ajaran 2008/2009
Pendaftar: 215 Calon Siswa
Diterima: 105 Siswa
Biaya Uang Pendaftaran: Rp 40.000
Biaya Daftar Ulang: Rp 1.335.000
Sumbangan Sarana Prasarana: Minimal Rp 2 Juta Perorang
Biaya Pembangunan : Rp 275 Juta
1.Gedung Perpustakaaan: Rp 181 Juta
2.Taman Adidwiyata: Rp 25 Juta
3.Komputer 5 Unit: Rp 25 Juta
4.Pemasangan Keramik 6 kls: Rp 48 Juta
Sumber : Hasil Rapat Komite SDN Sidokumpul 2 Minggu (6/4)
ACI
Pemerintah Dituntut Perhatikan Kesejahteraan Guru
Selasa, 16 Desember 2008 | 22:08 WIB
SEMARANG, SELASA - Puluhan mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Semarang berunjuk rasa di depan halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah, di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Selasa (16/12). Mereka menuntut pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mengoptimalkan penggunaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Pengunjuk rasa yang berjalan dari arah Simpang Lima menuju kantor DPRD Jateng dikawal secara beriringan oleh pihak kepolisian. Mereka membentangkan spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan, "Maksimalkan Anggaran Pendidikan 20 Persen dan Berantas Mafia Pendidikan". Selain berorasi, pengunjuk rasa juga menggelar aksi teaterikal mengenai minimnya kesejahteraan guru swasta.
Koordinator Aksi Arif Setiyawan mengatakan, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen semestinya dapat diserap secara maksimal oleh pemerintah untuk membenahi tatanan pendidikan Indonesia. "Pemerintah daerah yang belum bisa mengalokasikan anggaran pendidikan melampaui 20 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) juga mesti bisa menyesuaikan," kata Arif yang juga selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa IKIP PGRI.
Penataan itu bisa berupa perbaikan terhadap kesejahteraan guru non-pegawai negeri sipil dan menekan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar secara intensif. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dikutip oleh BEM IKIP PGRI, jumlah anak putus sekolah yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia mencapai 11,7 juta anak atau meningkat dibandingkan tahun 2006 sebanyak 9,7 juta anak.
Pengunjuk rasa juga mendesak pemerintah untuk segera memberantas mafia pendidikan yang terbukti menyelewengkan dana biaya operasional sekolah (BOS) dan tersangka korupsi buku ajar.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah Kunto Nugroho mengatakan, anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD Jateng tahun 2008 diprioritaskan untuk meningkatkan mutu pendidikan seperti pelaksanaan kebijakan vokasi, pengentasan buta aksara, pendidikan nonformal, serta program wajib pendidikan dasar 9 tahun dengan menyiapkan sarana prasarana serta pemberian dana BOS.
Kunto menambahkan, Pemerintah Provinsi Jateng juga memberikan tunjangan kepada sekitar 40.000 guru swasta dengan total anggaran Rp 48 miliar. "Untuk tahun 2009, akan dialokasikan Rp 90 miliar untuk memberi tunjangan kepada 48.000 guru swasta di Jateng," kata Kunto.
ILO
sumber:www.kompas.com
SEMARANG, SELASA - Puluhan mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Semarang berunjuk rasa di depan halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah, di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Selasa (16/12). Mereka menuntut pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mengoptimalkan penggunaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Pengunjuk rasa yang berjalan dari arah Simpang Lima menuju kantor DPRD Jateng dikawal secara beriringan oleh pihak kepolisian. Mereka membentangkan spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan, "Maksimalkan Anggaran Pendidikan 20 Persen dan Berantas Mafia Pendidikan". Selain berorasi, pengunjuk rasa juga menggelar aksi teaterikal mengenai minimnya kesejahteraan guru swasta.
Koordinator Aksi Arif Setiyawan mengatakan, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen semestinya dapat diserap secara maksimal oleh pemerintah untuk membenahi tatanan pendidikan Indonesia. "Pemerintah daerah yang belum bisa mengalokasikan anggaran pendidikan melampaui 20 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) juga mesti bisa menyesuaikan," kata Arif yang juga selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa IKIP PGRI.
Penataan itu bisa berupa perbaikan terhadap kesejahteraan guru non-pegawai negeri sipil dan menekan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar secara intensif. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dikutip oleh BEM IKIP PGRI, jumlah anak putus sekolah yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia mencapai 11,7 juta anak atau meningkat dibandingkan tahun 2006 sebanyak 9,7 juta anak.
Pengunjuk rasa juga mendesak pemerintah untuk segera memberantas mafia pendidikan yang terbukti menyelewengkan dana biaya operasional sekolah (BOS) dan tersangka korupsi buku ajar.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah Kunto Nugroho mengatakan, anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD Jateng tahun 2008 diprioritaskan untuk meningkatkan mutu pendidikan seperti pelaksanaan kebijakan vokasi, pengentasan buta aksara, pendidikan nonformal, serta program wajib pendidikan dasar 9 tahun dengan menyiapkan sarana prasarana serta pemberian dana BOS.
Kunto menambahkan, Pemerintah Provinsi Jateng juga memberikan tunjangan kepada sekitar 40.000 guru swasta dengan total anggaran Rp 48 miliar. "Untuk tahun 2009, akan dialokasikan Rp 90 miliar untuk memberi tunjangan kepada 48.000 guru swasta di Jateng," kata Kunto.
ILO
sumber:www.kompas.com
Pendidikan Wajar Sembilan Tahun di Kalteng Tuntas 2009
Kamis, 10 April 2008 | 11:41 WIB
PALANGKARAYA, KAMIS- Program wajib belajar sembilan tahun di Provinsi Kalimantan Tengah ditargetkan tuntas tahun 2009.
Sementara itu Pemerintah Kota Palangkaraya bahkan akan meluncurkan program wajib belajar 12 tahun pada Juli mendatang. "Ini karena sarana dan prasarana pendidikan di Kota Palangkaraya lebih baik dibanding kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah lainnya," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah, Hardy Rampay, di Palangkaraya, Kamis (10/4).
Rasio guru dan murid di Kalimantan Tengah, kata Hardy, dinilai mencukupi. Ada sekitar 32.000 guru di provinsi ini dengan jumlah murid 472.000 anak. Persoalannya, sebaran guru tidak merata, sehingga terkonsentrasi terutama di ibukota provinsi, ibukota kabupaten, dan kurang tersebar hingga sekolah-sekolah di pedalaman.
Hardy menuturkan, solusi problem tidak meratanya sebaran guru ini dilakukan dengan mengirimkan 1.260 guru yang tahun lalu sudah mendapat SK Calon Pegawai Negeri Sipil untuk dikirim mengisi kebutuhan tenaga pengajar di pedalaman. Bahkan, beberapa pemerintah kabupaten seperti Murung Raya, Lamandau, dan Seruyan mengirim calon guru untuk disekolahkan di perguruan tinggi di Palangkaraya, sebelum nantinya kembali mengajar ke daerahnya.(CAS)
Cyprianus Anto Saptowalyono
sumber:www.kompas.com
PALANGKARAYA, KAMIS- Program wajib belajar sembilan tahun di Provinsi Kalimantan Tengah ditargetkan tuntas tahun 2009.
Sementara itu Pemerintah Kota Palangkaraya bahkan akan meluncurkan program wajib belajar 12 tahun pada Juli mendatang. "Ini karena sarana dan prasarana pendidikan di Kota Palangkaraya lebih baik dibanding kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah lainnya," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah, Hardy Rampay, di Palangkaraya, Kamis (10/4).
Rasio guru dan murid di Kalimantan Tengah, kata Hardy, dinilai mencukupi. Ada sekitar 32.000 guru di provinsi ini dengan jumlah murid 472.000 anak. Persoalannya, sebaran guru tidak merata, sehingga terkonsentrasi terutama di ibukota provinsi, ibukota kabupaten, dan kurang tersebar hingga sekolah-sekolah di pedalaman.
Hardy menuturkan, solusi problem tidak meratanya sebaran guru ini dilakukan dengan mengirimkan 1.260 guru yang tahun lalu sudah mendapat SK Calon Pegawai Negeri Sipil untuk dikirim mengisi kebutuhan tenaga pengajar di pedalaman. Bahkan, beberapa pemerintah kabupaten seperti Murung Raya, Lamandau, dan Seruyan mengirim calon guru untuk disekolahkan di perguruan tinggi di Palangkaraya, sebelum nantinya kembali mengajar ke daerahnya.(CAS)
Cyprianus Anto Saptowalyono
sumber:www.kompas.com
SMPN Hanya Tampung 55 Persen Lulusan SD
Minggu, 29 Juni 2008 | 00:32 WIB
Jakarta, Kompas - Jumlah SMP negeri di DKI Jakarta tidak mampu menampung seluruh siswa lulusan sekolah dasar. Data dari Dinas Pendidikan Dasar DKI, dari total 136.836 siswa SD yang lulus Ujian Akhir Semester Berstandar Nasional atau UASBN hanya 55 persen yang tertampung di SMP negeri.
”Sayang memang. Padahal, angka kelulusan peserta UASBN sangat tinggi, yaitu 99,7 persen dari 137.283 peserta, yang tidak lulus hanya 447 orang. Meskipun jumlah SMP negeri terbatas, masih banyak sekolah swasta bermutu bagus siap menampung mereka,” kata Kepala Subdinas Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Chandrawaty, Sabtu (28/6).
Menurut Chandrawaty, selain tingkat kelulusan tinggi, nilai rata-rata peserta UASBN juga mencukupi, yaitu Bahasa Indonesia mencapai 7,56, Matematika (5,66), dan Ilmu Pengetahuan Alam/IPA (6,18). Terdapat 226 siswa yang lulus dengan nilai rata-rata 9 dan 10.
Perbaiki mutu
Orangtua murid menyambut gembira banyaknya siswa yang lulus UASBN. Namun, Hasta Prawira (45), warga Jalan Pakembangan, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, mengatakan, ia berharap anaknya, Thomas Prawira (12), dapat tersaring masuk SMP negeri. ”Sekolah negeri itu sebagian besar kualitas mutu pendidikannya masih terjamin dan tidak semahal sekolah swasta, apalagi kalau janji pemerintah terkait pendidikan dasar sembilan tahun gratis direalisasikan. Akan tetapi, saya cukup cemas setelah mengetahui daya tampung SMP negeri amat terbatas,” kata Hasta.
Hasta, mewakili banyak orangtua murid di Jakarta, berharap Pemerintah DKI segera membenahi sistem dan melengkapi sarana-prasarana pendidikan dasar. Selain meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga pendidiknya, pemerintah juga diminta segera memperbaiki gedung SD dan SMP yang rusak parah.
Sesuai data dari Dinas Pendidikan Dasar DKI, pada tahun 2008 terdapat 437 gedung SD/SMP yang butuh direnovasi. Di antaranya, terdapat delapan sekolah yang terpaksa memindahkan kegiatan belajar siswa karena bangunannya rusak parah, yaitu SD 21 dan SD 22 Kramatjati, Jakarta Timur; SD 05, 06, 07, dan 08 Petamburan, Jakarta Pusat; SMP 220 Jakarta Barat; serta SMP 193 Jakarta Timur. (NEL)
nel
sumber:www.kompas.com
Jakarta, Kompas - Jumlah SMP negeri di DKI Jakarta tidak mampu menampung seluruh siswa lulusan sekolah dasar. Data dari Dinas Pendidikan Dasar DKI, dari total 136.836 siswa SD yang lulus Ujian Akhir Semester Berstandar Nasional atau UASBN hanya 55 persen yang tertampung di SMP negeri.
”Sayang memang. Padahal, angka kelulusan peserta UASBN sangat tinggi, yaitu 99,7 persen dari 137.283 peserta, yang tidak lulus hanya 447 orang. Meskipun jumlah SMP negeri terbatas, masih banyak sekolah swasta bermutu bagus siap menampung mereka,” kata Kepala Subdinas Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Chandrawaty, Sabtu (28/6).
Menurut Chandrawaty, selain tingkat kelulusan tinggi, nilai rata-rata peserta UASBN juga mencukupi, yaitu Bahasa Indonesia mencapai 7,56, Matematika (5,66), dan Ilmu Pengetahuan Alam/IPA (6,18). Terdapat 226 siswa yang lulus dengan nilai rata-rata 9 dan 10.
Perbaiki mutu
Orangtua murid menyambut gembira banyaknya siswa yang lulus UASBN. Namun, Hasta Prawira (45), warga Jalan Pakembangan, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, mengatakan, ia berharap anaknya, Thomas Prawira (12), dapat tersaring masuk SMP negeri. ”Sekolah negeri itu sebagian besar kualitas mutu pendidikannya masih terjamin dan tidak semahal sekolah swasta, apalagi kalau janji pemerintah terkait pendidikan dasar sembilan tahun gratis direalisasikan. Akan tetapi, saya cukup cemas setelah mengetahui daya tampung SMP negeri amat terbatas,” kata Hasta.
Hasta, mewakili banyak orangtua murid di Jakarta, berharap Pemerintah DKI segera membenahi sistem dan melengkapi sarana-prasarana pendidikan dasar. Selain meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga pendidiknya, pemerintah juga diminta segera memperbaiki gedung SD dan SMP yang rusak parah.
Sesuai data dari Dinas Pendidikan Dasar DKI, pada tahun 2008 terdapat 437 gedung SD/SMP yang butuh direnovasi. Di antaranya, terdapat delapan sekolah yang terpaksa memindahkan kegiatan belajar siswa karena bangunannya rusak parah, yaitu SD 21 dan SD 22 Kramatjati, Jakarta Timur; SD 05, 06, 07, dan 08 Petamburan, Jakarta Pusat; SMP 220 Jakarta Barat; serta SMP 193 Jakarta Timur. (NEL)
nel
sumber:www.kompas.com
Bandung, Siswa Makin Terbebani UN
Selasa, 15 April 2008 | 18:56 WIB
BANDUNG, SELASA - Siswa sekolah menengah makin terbebani dengan keberadaan ujian nasional yang waktu pelaksanaanya kian dekat. Persiapan apa pun, khususnya akademis, dilakukan semata mengejar kelulusan. Kalau perlu, hal lainnya, misal kebutuhan sosial, dikesampingkan.
Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan sejumlah siswa sekolah menengah di Kota Bandung, Selasa (15/5). Pekan ini, siswa sekolah menengah pertama se-Kota Bandung melakukan try out (pra) ujian nasional serentak hingga Kamis (17/4) mendatang. Ujian nasional tingkat SMP/sederajat dilaksanakan 5-8 Mei mendatang.
Untuk mempersiapkan ujian nasional, ungkap Azis Bac htiar (14), siswa kelas IX SMPN 5 Kota Bandung, dirinya mengikuti tiga pemantapan sekaligus baik dari sekolah, lembaga bimbingan belajar, dan les tambahan dari guru pengampu bidang studi. Rutinitas ini dilakukannya hampir tiap hari sejak awal tahun ajaran baru.
Hampir tidak ada waktu untuk main. Sebenarnya, kita juga gak mau, tetapi kalau dipikir-pikir ini kan juga biar nambah pinter. Supaya bisa lulus, ujar Ardi Maulana (14) siswa lainnya. Biaya yang dihabiskan untuk ikut bimbingan yaitu Rp 1 juta Rp 3 juta per semester. Belum, biaya les khusus dengan guru bidang studi yang besarannya variatif sekitar Rp 100 ribu Rp 300 ribu per bulan.
Menjelang ujian nasional, rata-rata 20 jam per hari waktu siswa digunakan untuk belajar dan latihan soal. Dewi Fitri (15), siswi lainnya menceritakan, mulai pukul 07.00 hingga 17.30 WIB, waktunya dihabiskan untuk belajar dan ikut pemantapan di sekolah ditambah les di bimbingan belajar. "Pulang mandi, abis itu belajar lagi sampai jam 19.30 WIB. Tidur. Abis itu, bangun lagi jam 03.00 pagi untuk ngapalin materi," tuturnya.
Di SMAN 12 Kota Bandung, siswa tidak dipaksa harus ikut pemantapan dan les tambahan. Karena, ini bisa menekan siswa dan justru menjadi bumerang bagi sekolah jika seandainya siswa bersangkutan tidak lulus. Kita (sekolah) bisa di PTUN (gugat) kalau tidak lulus dan kita wajibkan ikut pemantapan. Yang terpenting, diberi pencerahan, lebih ke psikologi, juga doa bersama. Agar, mereka tidak stress, tutur Kepala SMAN 12 Kota Bandung Hartono.
Minggu tenang
Pekan ini, seluruh siswa SMA sederajat diliburkan. Mereka mengikuti minggu tenang sebelum ujian nasional Selasa (22/4) mendatang. Menjelang itu, sejumlah sekolah di Kota Bandung memfokuskan diri untuk membangun mental psikologi sisw a melalui berbagai upaya misalnya doa bersama dan kegiatan ESQ (Kecerdasan Emosi-Psikologi). Ini salah satunya dilakukan di SMAN 9 Kota Bandung.
Menurut Sekretaris Jendral Keluarga Peduli Pendidikan Yanti Sriyulianti, ujian nasional sebaiknya tidak dilaksanakan sebelum pemerintah terlebih dahulu melaksanakan pemerataan mutu sarana pendidikan, kualitas guru, dan akses pendidikan. "Dana ujian nasional (Rp 505 miliar) bukan lebih baik digunakan untuk pemerataan itu?" tuturnya.
Apalagi, baru-baru ini, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan warganegara atas ujian nasional (Kompas , 15/4). Menurut putusan itu, pelaksanaan ujian nasional ke depan dianggap melawan hukum jika tidak didahului evaluasi kualitas guru, akses informasi dan pemerataan sarana prasarana pendidikan.
Yulvianus Harjono
sumber:www.kompas.com
BANDUNG, SELASA - Siswa sekolah menengah makin terbebani dengan keberadaan ujian nasional yang waktu pelaksanaanya kian dekat. Persiapan apa pun, khususnya akademis, dilakukan semata mengejar kelulusan. Kalau perlu, hal lainnya, misal kebutuhan sosial, dikesampingkan.
Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan sejumlah siswa sekolah menengah di Kota Bandung, Selasa (15/5). Pekan ini, siswa sekolah menengah pertama se-Kota Bandung melakukan try out (pra) ujian nasional serentak hingga Kamis (17/4) mendatang. Ujian nasional tingkat SMP/sederajat dilaksanakan 5-8 Mei mendatang.
Untuk mempersiapkan ujian nasional, ungkap Azis Bac htiar (14), siswa kelas IX SMPN 5 Kota Bandung, dirinya mengikuti tiga pemantapan sekaligus baik dari sekolah, lembaga bimbingan belajar, dan les tambahan dari guru pengampu bidang studi. Rutinitas ini dilakukannya hampir tiap hari sejak awal tahun ajaran baru.
Hampir tidak ada waktu untuk main. Sebenarnya, kita juga gak mau, tetapi kalau dipikir-pikir ini kan juga biar nambah pinter. Supaya bisa lulus, ujar Ardi Maulana (14) siswa lainnya. Biaya yang dihabiskan untuk ikut bimbingan yaitu Rp 1 juta Rp 3 juta per semester. Belum, biaya les khusus dengan guru bidang studi yang besarannya variatif sekitar Rp 100 ribu Rp 300 ribu per bulan.
Menjelang ujian nasional, rata-rata 20 jam per hari waktu siswa digunakan untuk belajar dan latihan soal. Dewi Fitri (15), siswi lainnya menceritakan, mulai pukul 07.00 hingga 17.30 WIB, waktunya dihabiskan untuk belajar dan ikut pemantapan di sekolah ditambah les di bimbingan belajar. "Pulang mandi, abis itu belajar lagi sampai jam 19.30 WIB. Tidur. Abis itu, bangun lagi jam 03.00 pagi untuk ngapalin materi," tuturnya.
Di SMAN 12 Kota Bandung, siswa tidak dipaksa harus ikut pemantapan dan les tambahan. Karena, ini bisa menekan siswa dan justru menjadi bumerang bagi sekolah jika seandainya siswa bersangkutan tidak lulus. Kita (sekolah) bisa di PTUN (gugat) kalau tidak lulus dan kita wajibkan ikut pemantapan. Yang terpenting, diberi pencerahan, lebih ke psikologi, juga doa bersama. Agar, mereka tidak stress, tutur Kepala SMAN 12 Kota Bandung Hartono.
Minggu tenang
Pekan ini, seluruh siswa SMA sederajat diliburkan. Mereka mengikuti minggu tenang sebelum ujian nasional Selasa (22/4) mendatang. Menjelang itu, sejumlah sekolah di Kota Bandung memfokuskan diri untuk membangun mental psikologi sisw a melalui berbagai upaya misalnya doa bersama dan kegiatan ESQ (Kecerdasan Emosi-Psikologi). Ini salah satunya dilakukan di SMAN 9 Kota Bandung.
Menurut Sekretaris Jendral Keluarga Peduli Pendidikan Yanti Sriyulianti, ujian nasional sebaiknya tidak dilaksanakan sebelum pemerintah terlebih dahulu melaksanakan pemerataan mutu sarana pendidikan, kualitas guru, dan akses pendidikan. "Dana ujian nasional (Rp 505 miliar) bukan lebih baik digunakan untuk pemerataan itu?" tuturnya.
Apalagi, baru-baru ini, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan warganegara atas ujian nasional (Kompas , 15/4). Menurut putusan itu, pelaksanaan ujian nasional ke depan dianggap melawan hukum jika tidak didahului evaluasi kualitas guru, akses informasi dan pemerataan sarana prasarana pendidikan.
Yulvianus Harjono
sumber:www.kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)